Kebal Banjir
Samarinda, nomorsatukaltim.com - Bagi publik Samarinda, menghadapi banjir sepertinya sudah menjadi lumrah. Rasanya tidak salah menyebut warga Kota Tepian sudah kebal terhadap banjir. Terlepas dari peristiwa yang rutin terjadi itu hanya disebut genangan atau banjir bandang sekalipun.
Apa bukti bahwa penduduk Samarinda kebal terhadap banjir?. Ada beberapa yang menurut penulis cukup kuat. Salah satunya misalnya dengan adanya ungkapan ini: "Ikam hanyar kah di Samarinda?". Kalimat tanya itu seolah menjadi istilah “baku”. Merujuk pada kondisi lumrah. Bukan merupakan hal baru. Tentu saja istilah itu bermaksud untuk menyindir. Entah siapa yang disindir. Biasa juga ini diucapkan sebagai olok-olok sesama warga kota ini. Dan sepertinya, hal yang paling dikenal tentang Samarinda, ya banjirnya. Coba simak, percakapan di grup WhatsApp ini. Seseorang tiba-tiba mengirim pesan, ia berkata; "Banjir di mana-mana, endak bisa balik (pulang)”. Kemudian ada yang menyahut “Selamat datang di Samarinda." Ia rupanya terjebak banjir, malam itu, dua pekan lalu. Lebih tepatnya terhalang banjir. Nyaris semua jalan menuju rumahnya di kawasan Sempaja, tergenang banjir. "Tahu rute balik yang aman ke Sempaja be..?," tanyanya kemudian di grup itu, merujuk pada seorang anggota grup. Percakapan itu pun menjadi panjang. Sejumlah informasi jalan alternatif diberitahukan pada si penanya. Tapi akhirnya ia memilih singgah di kedai. Sembari menunggu genangan surut. Entah kurang keberanian, atau memang kondisinya tak bisa dipaksakan. Toh, sepengetahuan penulis, hobi orang itu, tidak jauh-jauh dari ngopi dan diskusi, tersering sampai subuh. So.. Itu bukan masalah baginya. Lantas, apakah itu bisa disebut dia kebal?. Silakan jawab sendiri. Lucunya, di tengah percakapan tadi, ada celetukan begini; "pake perahu karet aman bang." kata seseorang, yang semakin menunjukkan kekebalan si empunya pernyataan. Dan akhirnya, ada yang bilang begini: "Enggak hujan aja Samarinda banjir. Ikam hanyar kah di sini (Samarinda)." Yang mengucapkan celetukan itu, orang Balikpapan. Tinggal di Balikpapan. Ia bilang, sedang menirukan pernyataan seorang tokoh di Samarinda. Ada pula cerita, pengalaman penulis sendiri, baru-baru ini, sekitar dua pekan yang lalu. Ketika hendak menelusuri sisa banjir malamnya itu. Yang ceritanya sebagian dikutip tadi. Fotografer media ini memberi informasi, bahwa seputaran Jalan DI Panjaitan dan Jalan M. Yamin serta Jalan Pemuda, masih tergenang. Maka, siang itu penulis menelusuri sekitar Jalan M.Yamin. Benar saja, pada sejumlah titik, ruas jalan itu masih tergenang. Akibatnya, deretan ruko dan warung-warung kecil memilih tutup. Kondisinya lengang. Namun, ada saja warga yang masih beraktivitas. Salah satunya, ada yang menggelar acara nikahan. Di dalam tenda di pinggir jalan. Yang sebagian sisinya tergenang air setinggi betis. Coba masuk ke Jalan Pemuda III, melihat aktivitas warga. Rupanya, lebih menggambarkan bahwa warga di sana memang kebal. Mungkin karena memang sudah langganan banjir. "Itu (Jalan Pemuda) memang sarangnya banjir di situ," ucap Bayong, salah seorang redaktur harian ini. Jalan Pemuda III adalah sebuah jalan kompleks, masuknya dari M.Yamin tadi. Di dalam banyak gang-gang. Nampak memang, warga di sana lebih kebal menghadapi banjir. Bagaimana tidak, begitu penulis mencoba menelusuri ke dalam, jalan selebar kira-kira 4 meter, yang separuh rupanya sudah dipalang warga. Sekelompok anak kecil tengah asyik bermain di jalan yang tergenang banjir. Orang tua anak itu, dengan santainya memantau, dari tonjolan gorong-gorong yang timbul di permukaan genangan. Ada lagi ibu-ibu, yang sedang memungut jemuran menantang banjir sepinggang di rumah sederhanya. Karena sudah mulai mendung. Sementara suaminya, asyik menghisap sebatang lisongnya, di atas meja yang dipakai memalang jalan gang rumahnya itu. Bersamaan dengan itu, sebuah pikap lewat, menerobos banjir Jalan Pemuda III. Pikap itu mengangkut sebuah kasur dan beberapa perabotan rumah tangga. Akhirnya hujan turun, penulis berteduh di sebuah teras rumah. Barang setengah jam. Pemilik rumah keluar. Saya menyapa duluan. Lalu kami bercerita. Si ibu yang usianya sekitar 50-60 tahun itu, rupanya tinggal sendiri di rumah itu. Dia bercerita dengan santainya, bahwa semalam baru selesai membersihkan rumah, karena semalam habis kebanjiran. "Lalu sekarang hujan, hujan lagi," sesalnya. Dia pun melanjutkan bahwa sudah biasa menghadapi situasi demikian. Makanya, sejak sepeninggal suaminya, rumah itu memang sudah didesain untuk kebal banjir. Segala barang elektronik, seperti kulkas, televisi, mesin cuci, sudah dibuatkan meja. Atau kaki-kaki, sehingga posisinya lebih tinggi. Dengan begitu, ia tak perlu repot lagi, ketika banjir datang. "Lalu, kasur tempat tidur bagaimana?," "Kalau kasur dan sofa biar saja, tidak masalah, permukaannya lumayan tinggi, sekalian tempat menaruh barang seperti pakaian," ujar Ibu itu. Berbagai cerita di atas semakin menguatkan gambaran bahwa publik Kota Tepian, sudah memiliki kekebalan menghadapi banjir. Hanya saja, pemangku kepentingan mestinya memperhitungkan kerugian-kerugian warga ketika banjir. Apalagi ini sedang pandemi. Itu baru cerita warga di beberapa tempat. Ada lagi, seorang pengusaha jasa servis barang elektronik. Yang ditemui di Jalan DI Panjaitan, yang juga langganan banjir. Ia mengaku, harus menanggung kerugian sampai Rp 5 juta, akibat banjir sepanjang malam itu. Menurut penulis, pemerintah sudah semestinya lebih peka terhadap hal-hal demikian. Agar sesegera mungkin merancang kebijakan. Yang ampuh mengendalikan banjir ini. Sudah banyak diulas sebelumnya, soal apa sebenarnya pangkal masalahnya. Berikut berbagai alternatif solusinya. Apalagi sudah semakin jelas sekarang. Penyebab banjir yang utama ialah lemahnya tata ruang. Dan masifnya deforestasi atau alih fungsi lahan. Tanpa banyak menimbang dampak buruk kegiatan itu. Bukankah itu yang tengah ramai dibicarakan seantero negeri. Tentang penyebab banjir di Kalimantan Selatan itu. Mari belajar dari setiap kejadian. Warga pun menanti langkah konkret pemerintah. (*/dah)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: