GeNose: Alat Tes Tak Bikin Stres

GeNose: Alat Tes Tak Bikin Stres

Alat pendeteksi virus corona, GeNose resmi mendapat izin edar Kementerian Kesehatan. Keberadaan alat skrining COVID-19 itu menjadi salah satu solusi menangani wabah, karena berbiaya murah. Selamat tinggal  jarum suntik!

nomorsatukaltim.com - Salah satu kritik yang ditujukan kepada pemerintah terkait penanganan wabah ialah rendahnya pengetesan terhadap penduduk. Pengetesan dianggap menjadi salah satu tahap krusial dalam upaya mencegah penyebaran, sekaligus mengisolasi warga yang positif. Dengan GeNose, pengetasan kepada penduduk bisa ditingkatkan. Baik secara mandiri maupun oleh pemerintah. Ini karena biaya pengetesan termahal seharga Rp 25 ribu. Masyarakat tak akan keberatan memeriksakan diri secara mandiri. Apalagi, cara pengambilan sampel lebih nyaman dibandingkan PCR atau swab test. Tanpa harus menahan sakit, atau tahan malu karena takut jarum suntik. Hasilnya pun bisa diketahui dalam waktu singkat. 2-3 menit. Alat pengetesan seharga Rp 62 juta itu hanya memerlukan  alat penghubung sekali pakai untuk pengetesan seharga Rp20 ribu. Alat ini terdiri dari kantong plastik, hepa filter, adaptor pipe, plug, dan selang PU sepanjang 15 meter. Harga tersebut membuat GeNose menjadi alat pengetesan corona terjangkau, jika dihitung biaya per satu kali tes. Alat penghubung ini bisa dipakai 100 kali atau baru diganti kalau ada yang terdeteksi positif.  Alat ini dioperasikan menggunakan sistem kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mendeteksi sampel. Sedangkan pemeliharaan dalam penggunaan awal GeNose dianjurkan jika sudah melalui pengujian 5.000 sampel. Baru selanjutnya pengecekan dan pemeliharaan hanya dilakukan per pemeriksaan 150 ribu sampel nafas. Terkait keluarnya izin edar, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) berencana memproduksi 5 ribu unit GeNose pada Februari 2021. Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, dr. Swandari Paramita mengatakan cara kerja GeNose sama seperti rapid test antibody. Bedanya, GeNose tidak menggunakan sampel darah. Melainkan melalui embusan napas. Sehingga bisa dilakukan untuk anak-anak. Atau pun tes massal dalam jumlah massa yang besar. Ia bekerja dengan mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi COVID-19. VOC keluar melalui embusan napas dan dimasukkan ke dalam kantong khusus. Selanjutnya diidentifikasi melalui sensor-sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan kecerdasan buatan (AI). Untuk pengadaan di Kaltim, menurut Swandari, pemesanan baru bisa dilakukan secara mandiri. Karena Kemenkes belum menganjurkan GeNose sebagai alat deteksi resmi COVID-19. "Tergantung masing-masing institusi yang memerlukan. Atau mungkin tempat yang merasa perlu. Seperti klinik contohnya," ujar Swandari, Selasa (29/12/2020). Salah satu anggota Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 ini menyebut, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Mulawarman, berencana mendatangkan alat ini untuk keperluan skrining awal bagi civitas akademik yang perlu melakukan deteksi dini. Terutama bagi mahasiswa yang akan melakukan praktik di rumah sakit. Karena jika harus melakukan tes swab terus-menerus, tidak memungkinkan. "GeNose bisa digunakan sebagai skrining awal COVID-19. Kalau hasilnya nanti positif, kami akan tetap lakukan swab PCR," jelas dosen FK Unmul ini. Swandari juga menegaskan, keberadaan GeNose belum memungkinkan untuk menggantikan posisi swab PCR dan antigen sebagai diagnosis resmi pasien COVID-19. Karena saat ini, baru 2 alat tes itu yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO-World Health Organization). Tim pengembang sudah mendaftarkan alat ini ke WHO, agar mendapat legalitas internasional sebagai alat pendeteksi COVID-19 secara resmi. Namun, Swandari pesimistis pengajuan itu disetujui WHO. Alasannya, sampel yang digunakan ‘hanya’ embusan napas. Ia membandingkan dengan rapid test antibody yang menggunakan sampel darah, hanya diakui WHO sebagai alat skrining awal. Bukan alat diagnosis penetapan pasien. "Rapid antibodi yang pakai darah saja, tidak di-approve WHO sampai sekarang. Mereka hanya menyatakan boleh sebagai skrining saja. Nanti mungkin (GeNose) statusnya seperti rapid antibodi itu," katanya. Selama belum ada penetapan dari WHO itu, kata Swandari, GeNose tidak akan menjadi alat deteksi resmi COVID-19. Karena Kemenkes hanya mengikuti anjuran dari WHO, sehingga pengadaan GeNose di daerah, akan terbatas. Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim, dr Soeharsono mengaku belum mendapat instruksi Kemenkes terkait pengadaan GeNose. Karena itu, Pemprov Kaltim belum berani mendatangkan alat ini secara mandiri. "Setahu saya belum ada rencana. Apalagi anggarannya juga belum memungkinkan. Tapi akan saya komunikasikan lagi bersama kepala dinas," kata Soeharsono. Paling tidak, keberadaan pengendus virus yang diklaim memiliki sensitifitas 92 persen dan spesifitas 95 persen ini bakal mendorong masyarakat untuk memeriksakan diri. Tanpa takut kantong bolong.

PERKEMBANGAN VAKSIN

Berkaitan dengan perkembangan penanganan corona, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tenaga kesehatan menjadi kelompok terdepan yang akan menjalani vaksinasi. Berbicara melalui kanal YouTube Kementerian Kesehatan, Selasa (29/12/2020), Budi Gunadi menyampaikan, vaksinasi terhadap para tenaga medis ini akan dilakukan secara serentak di 34 provinsi, tanpa membedakan daerah berdasarkan risiko penularan. "Presiden Jokowi sampaikan, ini harus dilakukan di seluruh Indonesia berbarengan. Karena siapapun dia, tenaga kesehatan ini baik dia berlokasi di Aceh, di Jogja, Papua, mereka adalah sama-sama garda terdepan yang paling penting untuk kita hadapi pandemi. Arahannya, kami akan lakukan berbarengan di 34 provinsi," ujar Budi. Presiden, ujar Budi, secara khusus meminta agar vaksinasi dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Kendati bisa saja dilakukan dengan cepat, namun vaksinasi terhadap kelompok pertama, yakni tenaga medis, diminta agar dilakukan secara hati-hati. "Jadi walaupun katanya bisa dilakukan cepat, coba dilakukan secara bertahap dengan sangat hati-hati," katanya. Sedikitnya ada tiga pembagian kelompok prioritas vaksinasi tahun 2021 nanti. Kelompok pertama yang akan divaksin adalah petugas kesehatan di 34 provinsi di Indonesia. Total, ada 1,3 juta tenaga kesehatan yang masuk daftar prioritas. Kelompok kedua adalah petugas publik sebanyak 17,4 juta orang. Petugas publik ini adalah pegawai pemerintah atau petugas yang memberi pelayanan kepada masyarakat di garis depan. Sesuai timeline yang disiapkan, dua kelompok prioritas tersebut akan diberi vaksin pada periode Januari-April 2021. Bersamaan dengan itu, sambil menunggu keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), vaksin juga mulai akan diberikan kepada kelompok lanjut usia (lansia) sebanyak 21,5 juta orang. Baru setelahnya, masyarakat umum di daerah yang memiliki risiko penularan tinggi akan diberi suntikan vaksin mulai April 2021. Jumlah target vaksinasi untuk kelompok ini adalah 63,9 juta orang. Bila jumlah vaksin memadai, maka vaksinasi akan diperluas lagi kepada kelompok masyarakat di daerah lain sebanyak 77,4 juta orang, sesuai pendekatan klaster. Khusus untuk vaksinasi bagi lansia, pemerintah memang sengaja menyelipkan di gelombang pertama sambil menunggu keputusan BPOM. BPOM nanti akan menentukan apakah vaksin COVID-19, termasuk jenis atau mereknya, aman diberikan kepada lansia. Hal ini karena uji klinis vaksin Sinovac yang dilakukan oleh Unpad dan Biofarma di Bandung hanya diberikan terhadap relawan berusia 18-59 tahun. Jumlah penduduk yang menjadi target vaksinasi sebanyak 181,5 juta orang. Angka ini didapat dari perhitungan medis untuk memperoleh kekebalan komunitas atau herd immunity. Dari 269 juta rakyat Indonesia, maka target herd immunity untuk penduduk berusia di atas 18 tahun adalah 188 juta orang. "Dari angka itu, kalau kita keluarkan yang memiliki komorbid berat, kita keluarkan yang pernah positif COVID-19, dan kita keluarkan ibu hamil, jumlah target vaksinasi jadi 181 juta rakyat," kata Budi. Dengan mempertimbangkan kemungkinan bahwa setiap orang butuh setidaknya dua dosis vaksin dan rekomendasi WHO bahwa setiap negara perlu menyiapkan pasokan cadangan sebesar 15 persen, maka total vaksin COVID-19 yang harus disiapkan pemerintah Indonesia mencapai 426 juta dosis vaksin. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: