RUU Pertanahan Bukan Cermin UUPA 1960

RUU Pertanahan Bukan Cermin UUPA 1960

Peliknya persoalan konflik agraria menjadi persoalan laten di Indonesia yang terus berangsur bertambah setiap saat. Seiring berjalannya waktu dan pergantian kepemimpinan, pada kenyataannya belum mampu berbuat banyak terhadap konflik-konflik agraria yang terjadi diseluruh penjuru tanah air. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 atau dikenal UUPA ditafsirkan dengan sedemikian rupa, dan dibelokkan sejak era orde baru yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan modal, dengan mengatasnamakan pembangunan negara. Dewasa ini, upaya ditegakkannya aturan yang menyangkut tentang pertanahan dan agraria mulai diwujudkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan telah masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional), dan menjadi salah satu fokus pembahasan pemerintah yang diklaim akan melengkapi kekurangan dari UUPA 1960, dan mengatur secara lebih rinci tentang permasalahan agraria atau pertanahan sesuai kebutuhan bangsa, negara dan masyarakat. Pada kenyataanya, RUU yang sedang diupayakan untuk disahkan pada September 2019 ini mengandung banyak hal yang belum dapat menjawab persoalan agraria yang terjadi di Indonesia. Dan justru tidak mencerminkan tujuan dan cita-cita UUPA 1960 itu sendiri. Hak Pengelolaan (HPL) dan Jebakan Keberpihakan Pasal 8 RUU Pertanahan mengatur tentang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah oleh negara melalui instrumen kementerian. HPL selama ini dianggap sebagai aturan yang mendasari lahirnya banyak perosalan dan konflik agraria. Pemberian HPL oleh pemangku kebijakan seringkali hanya mementingkan kepentingan pemodal besar untuk menjalankan usahanya. Seperti kasus yang terjadi pada 31 titik di wilayah Kepulauan Riau oleh klaim HPL wilayah otorita Batam. Akibat dari hal tersebut, kepentingan atau keberadaan masyarakat dalam wilayah HPL yang diberikan harus dikorbankan. Kenyataan tersebut terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan menjadi sumber berbagai jenis konflik di berbagai sektor agraria. HPL juga dianggap telah menghidupkan kembali konsep domein verklaring pemerintah kolonial pada masa penjajahan dahulu. Domein verklaring adalah pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara. HPL dikatakan menghidupkan kembali konsep domein verklaring karena seringkali dalam pemberian HPL tersebut oleh pemangku kewenangan, dilakukan tidak dengan memperhatikan kondisi lahan dan keberadaan masyarakat yang mendiaminya. Inilah yang seringkali melahirkan konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan baik milik negara atau milik swasta. Pemberian HPL yang menyesuaikan dengan kebutuhan pemodal besar membuat pemerintah secara sewenang-wenang menguasai tanah, yang oleh masyarakat tidak dapat dibuktikan kepemilikannya walaupun telah lama mendiami wilayah tersebut. Kali ini, dengan naiknya status HPL dalam bentuk undang-undang pada kenyataannya tidak mengubah banyak dari tujuan HPL sebelumnya, yang di atur dalam pasal 64 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Hal tersebut terbukti dari pasal 8 ayat (2) pada RUU pertanahan seakan-akan menyatakan bahwa HPL berpihak kepada masyarakat dengan diharuskannya pemegang HPL untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas tanah sesuai tujuan khusus. Kemudian diperjelas pada pasal 10 ayat (2) sebanyak 60% dari luas HPL. Secara jelas, aturan tersebut tidak bertujuan untuk membuat masyarakat dapat menguasai tanah untuk dipergunakan selain dalam koridor tujuan khusus dari HPL tersebut. Sehingga memungkinkan masyarakat hanya dapat mengolah tanah sesuai tujuan khusus pemberian HPL. Tidak pula diatur jumlah luasan HPL yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada subyek yang berhak menerima HPL. Reforma Agraria versi Pemodal Pelaksanaan reforma agraria dalam RUU Pertanahan telah diatur dengan harapan untuk memenuhi hak masyarakat atas tanah dan dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria yang telah terjadi dan yang akan datang. Namun jika dipahami secara lebih dalam, dapat disimpulkan bahwa reforma agraria yang ditaur dalam RUU tersebut terlihat tidak serius dan berpihak pada kepentingan pemodal besar. Ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria menurut RUU ini salah satunya adalah model penyelesaian konflik agraria yang menekankan pada proses mediasi dan peradilan. Tentu hal tersebut dapat diartikan bahwa RUU itu menyamakan konflik agraria struktural dengan konflik pertanahan biasa. Padahal, konflik agraria struktural memiliki dampak yang lebih luas dari pada konflik pertanahan biasa. Konflik agraria struktural berdampak luas secara sosial, budaya, ekonomi, ekologis dan tidak jarang memakan korban jiwa. Konflik agraria struktural harus diselesaikan dengan melibatkan seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam satu sektor konflik agraria struktural. Lebih dari itu, konflik agraria struktural seharusnya dapat diantisipasi sejak masih menjadi potensi dengan aturan yang tegas, sehingga selain menyelesaikan konflik agraria struktural yang telah terjadi, dapat juga menghindari atau mencegah potensi-potensi konflik agraria struktural yang akan terjadi. Reforma agraria adalah upaya negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang menjadi lebih berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan, yang dilakukan secara sistematis, terstruktur serta memiliki kerangka waktu yang jelas. Sedangkan RUU Pertanahan ini mengartikan reforma agraria hanya sebatas pada program penataan aset saja. Masyarakat Adat dan Cita-Cita UUPA 1960 Secara konstitusi, Indonesia telah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia seutuhnya. Keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya juga bagian yang diatur dalam RUU Pertanahan, walaupun aturan-aturan dalam RUU ini bersifat pasif terhadap hak atas tanah masyarakat adat. Masyarakat adat dituntut harus proaktif dalam hal mendapatkan hak atas tanah adatnya. Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat untuk memperoleh hak ulayat harus dikukuhkan oleh instansi pemerintah, di berbagai lingkup dan tingkatan pemerintahan sesuai dengan wilayah keberadaan masyarakat adat tersebut. Pengukuhan atas keberadaan masyarakat adat tersebut harus didasari terlebih dahulu dengan permohonan pengukuhan masyarakat adat kepada kepala pemerintahan yang sesuai. Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan bahwa RUU Pertanahan menjadikan UUPA sebagai landasannya. Menjadikan tujuan UUPA pula dalam membuat aturan-aturan yang tertuang di dalamnya. Namun, kontradiksi juga timbul dalam muatan dan substansi yang dibuat. Terkait peran proaktif yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah dalam mendaftarkan tanah di seluruh wilayah Indonesia agar dapat memiliki data agraria yang lengkap dan akurat, dalam rangka menentukan arah pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat. RUU Pertanahan justru mengharuskan bahwa masyarakat pada berbagai sektor lah yang harus mengambil peran proaktif tersebut. Dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah dalam RUU Pertanahan tersebut memiliki tujuan untuk percepatan proses sertifikasi tanah saja, tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi wilayah terdampak konflik agraria, wilayah adat dan wilayah-wilayah yang mengalami tumpang tindih dengan wilayah konsesi. Peluang Korupsi Dengan diberikannya kewenangan pada kementerian dalam hal pengelolaan tanah yang terdapat pada sebagian besar pasal RUU Pertanahan, tidak menutup kemungkinan bahwa praktik korupsi akan terjadi. Kewenangan kementerian dalam RUU Pertanahan menjadi bagian dari beberapa pasal yang mengatur ketentuan lebih lanjut terkait teknis-teknis pelaksanaannya. Hampir setiap hal mengatur mengenai tanah negara dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan tanah negara lewat aturan yang dibuatnya. Kewenangan oleh menteri dalam mengatur tersebut adalah kewenangan yang pada dasarnya tidak berubah dari kewengan pada aturan terdahulu yang juga membuka luas pintu korupsi dalam memenuhi kepentingan para pemilik modal besar untuk menjalankan usahanya. Dengan kata lain, RUU Pertanahan belum berpihak kepada masyarakat kecil dalam kebutuhan dan hak nya atas tanah. */Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Juga kini menjabat sebagai ketua DPP GMNI Bidang Reforma Agraria dan Tata Ruang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: