Kasus Kekerasan di Bumi Etam Belum Sirna

Kasus Kekerasan di Bumi Etam Belum Sirna

Kaltim belum bebas dari kasus kekerasan. Kendati angkanya diklaim menurun saban tahun. Beberapa kasus kekerasan perlu jadi perhatian bersama. Agar tak terulang di tahun berikutnya.

Samarinda, Nomorsatukaltim.com - MERUJUK data dari Polresta Samarinda, persetubuhan mendominasi tahun ini. Angkanya mencapai sepuluh kasus. Disusul dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebanyak tujuh kasus, penganiayaan perempuan empat kasus, dan penganiayaan anak dua kasus. Sementara untuk kasus lainnya, seperti pencabulan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan pemerkosaan, masing-masing satu kasus.

Angka tersebut merupakan kasus yang telah ditangani oleh kepolisian. Hampir seluruh pelakunya telah diadili, dan ada pula yang masih berproses peradilannya. "Data ini merupakan hasil rangkuman sepanjang 2020," kata Kanit PPA Iptu Teguh Wibowo yang mewakili Kasat Reskrim Polresta Samarinda Kompol Yuliansyah. Dari data kekerasan perempuan dan anak di Samarinda, kepolisian menyoroti kasus kekerasan seksual. Kebanyakan pelakunya adalah orang terdekat korban. Kata Teguh, motif para pelaku yang memicu terjadinya kekerasan seksual adalah lemahnya iman. Sehingga pelaku mudah terdorong nafsu untuk melakukan pencabulan. Selain itu, Pagebluk COVID-19 yang memaksa untuk tetap berada di rumah, juga salah satu sebabnya. “Dan terkadang juga korban tergiur dengan iming-iming atau merasa terancam dengan ancaman para pelaku,” kata Teguh. Khusus kasus kekerasan seksual, diakui Teguh tak melulu dilakukan pelaku yang memiliki hubungan keluarga dengan korban. Namun ada juga yang melakukannya karena ada hubungan sebagai kekasih. “Untuk itu pasti ada, tapi tidak banyak seperti laporan kekerasan seksual yang dilakukan orang tua tiri terhadap anak tirinya,” imbuhnya. Teguh membeberkan, kasus kekerasan pada perempuan dan anak mengalami penurunan di 2020. Hal itu bisa dilihat dari data jumlah kasus empat tahun sebelumnya. "Kita bisa lihat di 2016 itu ada 64 kasus. Kemudian 2017 masih sama, ada 64 kasus. Lalu di 2018 itu ada 43 kasus, dan 2019 ada 30 kasus," bebernya. Untuk menekannya, diperlukan peran serta perhatian dari para lembaga maupun komunitas pemerhati perempuan dan anak, untuk melakukan edukasi sebagai pencegahan dini. "Kami berharapnya di 2021 nanti, semoga tidak ada kasus," tandasnya. Penurunan kasus juga diklaim terjadi di Balikpapan. Berdasarkan data Polresta Balikpapan, tahun ini korps Bhayangkara itu hanya menangani enam kasus. Terdiri dari lima kasus KDRT dan satu kasus penganiayaan anak. Namun dari enam kasus itu, hanya penganiayaan anak yang dapat dituntaskan. Sementara kasus KDRT masih belum diselesaikan. Angka ini lebih rendah dibanding 2019. Dari catatan kepolisian, ada 35 kasus yang masuk ke Polresta Balikpapan. Dengan rincian 31 kasus KDRT dan empat kasus penganiayaan anak. Dari jumlah kasus itu, sembilan kasus KDRT dan satu kasus penganiayaan anak berhasil diselesaikan. Sementara data di Polda Kaltim mencatat, pada 2019 terdapat tujuh kasus KDRT yang masuk dan berhasil diselesaikan. Serta nihil kasus penganiayaan anak yang masuk di Polda. Sedangkan di 2020, ada lima kasus KDRT dengan dua kasus yang baru diselesaikan. Sementara kasus penganiayaan terhadap anak, kembali nihil. Kapolda Kaltim Irjen Pol Herry Rudolf Nahak mengakui, jika perempuan dan anak tidak hanya menerima kekerasan. Bahkan ada juga yang mengalami pelecehan seksual sehingga menimbulkan trauma yang mendalam. Pihaknya pun bekerja sama dengan pemerintah daerah serta sejumlah instansi, agar kasus kekerasan serta pelecehan terhadap perempuan dan anak bisa terus ditekan dan semakin berkurang. "Kita selalu bersama-sama, baik Pemda dan instansi yang menangani ini untuk menekan angka kasusnya, kalau perlu dihilangkan," jelasnya. Langkah antisipasi serta bentuk nyata yang telah Polda Kaltim lakukan saat ini, adalah melakukan sosialisasi, imbauan serta pembelajaran kepada masyarakat melalui penyuluhan yang ada. "Kita juga melakukan penyadaran kepada masyarakat. Ayo kita hargai perempuan, ayo kita perlakukan dia sebagaimana layaknya. Sehingga kekerasan di dalam rumah tangga atau lainnya tidak terjadi lagi," tambahnya. Disinggung mengenai pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah orang sekitar, dengan tegas ia membantahnya. Meski demikian ia juga tidak menampik, mayoritas pelakunya adalah orang di sekitar perempuan dan anak. "Tidak melulu orang terdekat yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak ini. Namun, memang mayoritas pelakunya adalah orang di sekitarnya," ujarnya. Ia pun menegaskan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dihilangkan. Namun dengan catatan, manusia mampu sadar diri atas hak dan tanggung jawabnya. "Kasus ini harusnya bisa dihilangkan, jika kita bersama-sama menyadarinya," tegasnya. Tak hanya Samarinda dan Balikpapan. Di Penajam Paser Utara (PPU), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga masih terjadi. Angkanya di tahun ini, dari data Dinas Pemerdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KP2KB) PPU mencapai delapan kasus. "Kami menangani korban. Melakukan pendampingan pada korban yang rata-rata mengalami hal traumatis dari kejadian itu," kata Kepala DP3AP2KB, Firmansyah, beberapa waktu lalu. Peran mereka, kata Firmansyah, memang banyak menangani pasca kejadian. Bukan pra-nya, atau pencegahan. Kadang ia juga masih bingung, "Kok masyarakat ini makin ganas," ucapnya. Jadi soal pencegahan itu, butuh peran serta setiap lini yang ada di masyarakat. Perlu peran aparat keamanan, unsur-unsur tokoh masyarakat di tiap wilayah. Termasuk yang utama ialah tokoh agama. Jadi, fokus pencegahan yang mereka lakukan ialah menjalin sinergitas. Melalui sosialisasi dan edukasi pencegahan. Kegiatan ini rasanya manjur. Sesuai catatannya juga, angkanya semakin menurun. Tertinggi di 2018, ada 25 kasus. Sedangkan 2016, 2017 dan 2019 berkisar di 18-19 kasus. Di samping itu semua, dalam peringatan Hari Ibu 22 Desember lalu, Firmansyah lebih menekankan pada pemberdayaan perempuan. Mengkampanyekan tiap perjuangan perempuan Indonesia. Dalam mengisi kemerdekaan. Perempuan berdaya untuk Indonesia Maju, lanjutnya, tentu saja perempuan yang memiliki daya ungkit. Untuk menghapus ketertinggalan para kaum perempuan. Menuju perempuan yang memiliki kompetensi dan berdaya saing. Serta bisa berkontribusi untuk fokus dalam pembangunan sumber daya perempuan yang lebih unggul. Emansipasi lah maksudnya. "Peringatan hari ibu dimaksudkan untuk mempertebal dan mempererat persatuan bangsa. Untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang pembangunan dengan dilandasi persatuan dan kesatuan,” ujarnya. Terpisah, Wakil Bupati PPU Hamdam Pongrewa menyikapi peringatan ini dengan mengingat peran seorang ibu pada masa sekarang. Menurutnya, peran ibu semakin meningkat. Bersamaan dengan itu, makin berat pula tantangan yang dihadapi. Tanggung jawab perempuan makin ke sini juga turut dihadapkan kepada berbagai masalah. Bahkan masalah kaum adam pun sudah menjadi bagian dari permasalahan yang dihadapi. “Ibu lebih dari sekadar panutan dan perawat bagi keluarga. Seorang ibu dapat berganti peran dalam waktu singkat, dari seorang yang menegakkan disiplin menjadi seorang teman bagi anaknya," ujarnya. Perlindungan terhadap perempuan di PPU ini juga turut pemerintah perjuangkan. Pihaknya telah mengusulkan untuk terbitnya peraturan daerah (perda) paket. Perlindungan anak dan perempuan. Saat ini rancangan perda itu sudah disetujui menjadi perda. Berarti saat ini telah sah. Implementasinya akan ditegakkan pada 2021. "Kita harap bisa berjalan dengan apa yang diinginkan. Selanjutnya nanti akan dibuat Perbup (peraturan bupati) yang detail menginstruksikan implementasi perda. Nanti akan ada tim khusus yang menjalankan itu di bawah dinas terkait," tutup Hamdam. TAKUT MELAPOR Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Perempuan Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Fahmi Rozano menyebut, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun ini mencapai 466 kasus. Namun memang, dari angka sebesar ini, tak semuanya melapor kepada pihak berwajib. “Kami sudah berkali-kali melakukan sosialisasi, namun masih banyak yang tidak berani mengadu” kata dia seperti diberitakan Disway Kaltim, Kamis (24/12) lalu. Jika merujuk tahun sebelumnya, tahun ini angkanya menurun. Yakni dari 627 kasus menjadi 466 kasus. DKP3A Kaltim mengajak pemerintah daerah untuk memberikan kesadaran pentingnya melaporkan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Upaya itu, selain memberikan perlindungan kepada korban, sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku, maupun orang lain yang akan melakukan hal serupa. “Jangan menunggu kasus, tetapi harus ke lapangan. Karena kalau menunggu kasus akan berjalan di tempat. Jadi kami akan berusaha mengajak turun ke lapangan. Jangan di kantor. Kita akan coba itu, sedikit demi sedikit bisa berjalan. Dan masyarakat bisa menjadi agen pelapor,” pungkasnya. (aaa/bom/tor/rsy/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: