Siapa Mau Lahan MBTK?

Siapa Mau Lahan MBTK?

Setahun lebih sejak diresmikan Presiden Joko Widodo, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK) belum mampu memikat pemilik modal. Langkah kuda diambil Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor.

nomorsatukaltim.com - Kawasan Ekonomi Khusus di Kabupaten Kutai Timur itu presiden pada 1 April 2019. MBTK diresmikan bersamaan dengan KEK Bitung dan Mandalika.  Namun berdasarkan data pemerintah provinsi, belum satu pun industri yang tertarik menanamkan investasi. Dalam upaya mendorong investasi di kawasan MBTK, Pemprov berencana memberi insentif berupa bebas biaya sewa lahan selama 5 tahun. "Kita ingin supaya mereka bisa berproduksi. Perkiraan  5 tahun running well, baru dikenakan sewa," kata Isran Noor. Selama ini, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati, harga biaya sewa lahan di kawasan MBTK ditetapkan sebesar Rp 33.895 per meter per tahun. Biaya ini dinilai mahal bagi para investor. Mengingat, beberapa fasilitas pendukung industri yang belum memadai. Wacana pembebasan biaya sewa, kata Isran, masih dalam pembahasan di internal Pemprov. Setelah menentukan skema yang pas, pemerintah daerah akan meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). "Itu pertimbangan. Masih belum final," tandasnya. Terkait wacana itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim, mendukung penuh. Wakil Ketua Bidang Investasi Kadin Kaltim, Alexander Sumarno menyebut. Bebas biaya sewa lahan dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha. Untuk mulai berinvestasi di sana. "Kami memang pernah mengusulkan itu ke gubernur. Karena di sana biaya sewa kan mahal. Selain itu, masih ada biaya lain lagi. Infrastruktur yang ada juga nanggung," ungkapnya saat, Senin (21/12/2020). Manurut Alex, harga sewa saat ini senilai Rp 34 ribu per hektar per tahun itu, sebenarnya masih bisa diterima di kalangan pengusaha. Kalau saja, fasilitas pendukung yang diberikan sebanding dengan harga penawaran. "Kalau daerah sudah maju, kawasan industrinya ramai. Harga segitu, pas saja. Cuma kan tempat ini, belum sama sekali," ujarnya. Apalagi, bagi pengusaha yang baru memulai industri pertama di sana. Mereka butuh dana besar. Minimal dengan nilai investasi  Rp 500 miliar. Alex mengalkulasi, jika satu perusahaan industri harus membayar biaya sewa lahan Rp 300 juta per tahun. Selama 20 tahun, perusahaan harus membayar Rp 6 miliar. Dengan status sewa lahan yang bisa dicabut kapan saja. Karena tak ada hak kepemilikan. Sementara, investasi belum tentu selesai selama 20 tahun. "Yang begini, jadi kendala dalam tawar-menawar," ungkap Alex. Pilihan lain yang menjadi perbandingan mahalnya biaya sewa lahan di MBTK adalah harga jual tanah di lingkungan setempat. Untuk tanah di luar kawasan, harga jualnya hanya berkisar Rp 100 hingga 150 juta per hektare. Sementara di kawasan MBTK, biaya sewa lahan bisa mencapai Rp 350 juta per hektare. Dengan status kepemilikan yang berbeda. Sehingga, harga sewa seharusnya bisa diturunkan. Minimal sebanding dengan harga jual tanah di sekitar kawasan MBTK. Ini untuk menarik minat investor menanamkan modal investasi di sana. Agar minimal satu industri sudah mulai dibangun. Alex menyebut, MBTK hanya perlu satu industri besar yang dapat beroperasi. Untuk menghidupkan kawasan MBTK. Sisanya, hanya perlu industri kecil sebagai pendukung kawasan. “Misalnya satu industri pengolah CPO menjadi minyak goreng. Itu dulu. Nanti, pabrik turunannya pasti ngikut. Ya mentega, sabun, kosmetik, dan sebagainya. Akan jadi menarik MBTK," tuturnya. Yang menjadi tantangan saat ini, menurut Alex apakah wacana bebas biaya sewa lahan ini. Akan disetujui oleh  pihak pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Mengingat biaya sewa lahan saat ini, sudah ditetapkan dalam peraturan daerah. Jika wacana ini digulirkan, tentu perlu mendapat persetujuan pihak pemerintah daerah. Masalah lain, yang perlu menjadi perhatian. Menurut Alex, adalah ketersediaan jalur bahan baku. Untuk industri produk turunan CPO misanya. Pemerintah harus memastikan bahan baku CPO tersedia. Karena selama ini, pabrik CPO yang ada di wilayah Kutai Timur. Sudah berafiliasi dengan perusahan besar dan memiliki jalur penjualan sendiri. Mereka, belum tentu bersedia menjual bahan baku ke industri baru di MBTK. Pemprov perlu memediasi para pengusaha lokal dan petani sawit untuk berkomitmen membantu rantai pasok bahan baku industri ke kawasan MBTK nantinya. "Misalnya Kutim bisa produksi 60 ton TBS per jam. Atau 120 ton CPO. Anggaplah 10 sampai 20 persennya mau menyuplai ke industri di MBTK," kata Alex menyarankan. Selain itu, pemprov juga perlu menarik jalur bahan baku dari daerah sentra penghasil sawit lainnya. Seperti Kukar, dan Berau. Pembangungan KEK MBTK di Kecamatan Kaliorang Kabupaten Kutai Timur ini menjadi wujud dari upaya pemerintah Kaltim. Untuk mengubah ketergantungan sektor ekonomi daerah. Dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui atau unrenewable resources. Seperti batu bara dan migas. Menuju kepada sumber daya alam yang dapat diperbaharui alias renewable resources. Seperti sektor perkebunan dan pertanian. Selain diproyeksikan sebagai kawasan industri berbasis perkebunan dan pertanian. Khususnya, Di sektor perkebunan kelapa sawit. MBTK juga direncanakan sebagai pusat industri pengolahan kayu, logistik, dan refinery. Dengan total luas kawasan mencapai 509,496 Hektare. Dan dapat menyerap tenaga kerja hingga 55 ribu orang.

HARUS JELAS

Merespon wacana penggratisan sewa lahan di MBTK, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Veridiana Huraq Wang meminta pemerintah daerah memperjelas status proyek itu. “Kita belum bisa berbicara mengenai kawasan Maloy itu karena perdanya kemarin dibatalkan. Maloy harus jelas dulu regulasinya. Memang di tata ruang kita, Maloy itu bagian dari bisnis. Tapi, perlu ada regulasi dan perda tentang zonasi. Kemarin dibatalkan karena belum memenuhi syarat,” jelas Veridiana. Politisi PDIP itu menambahkan, jika sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang pemerintah, Maloy akan menjadi kawasan oleochemical, dan kawasan ekonomi. “Kita punya peluang besar untuk pendapatan daerah dari sana. Tapi untuk bisa ke sana, perlu regulasi,” kata dia. Saat ini, menurut Veridiana, pemerintah daerah harus menunggu pemerintah pusat karena syarat yang disampaikan belum terpenuhi. “Jadi, kalau itu dilakukan pembebasan (sewa) lahan oleh pak gubernur, saya kira tidak bisa dimanfaatkan karena belum ada regulasi yang jelas dan mengatur itu. Karena Maloy itu kawasan nasional.” Ia mendorong MBTK bisa difungsikan secepatnya, sehingga Kaltim akan memperoleh manfaat secara cepat untuk kontribusi pendapatan daerah. Anggota Komisi II lainnya, Baharuddin Demmu menyarankan  memperbaiki fasilitas infrastruktur, sehingga bisa menarik minat investor. “Kan ini promosinya juga tidak gencar. Minimal bikin baliho besar di Bandara Jakarta biar orang lalu lalang melihat. Dengan begitu dapat dipromosikan, karena promosi itu penting juga,” kata politisi PAN itu. Menurut dia, biaya promosi memang mahal, tapi itu menjadi salah satu cost membangun usaha. “Pasang aja di Bali misalnya, pasti orang tahu kalau di Kalimantan ada membangun usaha ini, bahan bakunya dari sana dan bikin CPO ternyata sawitnya sekian juta hektare, tidak ada problem persoalan sosial. Kan begitu,” ujarnya. Upaya itu dinilai lebih baik, dibandingkan menggratiskan biaya sewa lahan. Meski demikian, Baharuddin meminta pemerintah daerah mampu meyakinkan investor terhadap kepastian hukum, menjamin keamanan, sehingga dapat memberikan keuntungan. “Jangan sampai begini, punya lahan sawit. Tapi jangan-jangan lahan-lahan ini sudah ada kontrak, tetapi posisinya perusahaan itu tidak berada di Kaltim. Sehingga tidak boleh mengambil bahan baku yang sudah dikontrak,” urainya. Sejumlah tantangan yang harus dibereskan pemerintah daerah ialah dengan memperbaiki infrastruktur.  Meski begitu, pada prinsipnya Baharuddin Demmu mendukung wacana gubernur, dengan tambahan kepastian ketersediaan bahan baku, perbaikan infrastruktur, dan promosi di luar daerah. (krv/tor/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: