PBB Tetapkan Ganja sebagai Tanaman Obat

PBB Tetapkan Ganja sebagai Tanaman Obat

nomorsatukaltim.com - Komisi Narkotika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi mencoret ganja (Cannabis sativa) dari daftar narkotika. Keputusan diambil dalam pemungutan suara bersejarah yang berlangsung Rabu (2/12/2020) waktu New York, Amerika Serikat.

Keputusan mencabut ganja dari daftar narkoba membuka jalan bagi legalisasi mariyuana medis di berbagai negara.  Sudah ribuan tahun, ganja dikenal memiliki nilai terapeutik. Berangkat dari usulan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Komisi Narkotika PBB sepakat untuk menghapus ganja dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis. Akan tetapi, hukum PBB tetap melarang penggunaan mariyuana rekreasi. Hasil pemungutan suara menunjukkan selisih tipis yakni 27-25. Amerika Serikat dan Britania Raya mendukung keputusan ini, sementara Rusia memimpin sejumlah negara yang menentang penghapusannya — termasuk Tiongkok, Pakistan dan Nigeria. Manfaat ganja sebagai obat sudah diketahui sejak ribuan tahun lalu. Tanaman ini digunakan dalam pengobatan tradisional Tionghoa pada abad ke-15 SM. Ganja juga diakui manfaatnya di Mesir kuno dan Yunani kuno. Keputusan PBB diharapkan dapat mendorong banyak negara untuk meningkatkan aksesnya terhadap obat-obatan berbahan ganja, serta memicu lebih banyak kajian ilmiah tentang khasiat kanabis bagi kesehatan. Selain itu, pencabutannya dapat mempercepat legalisasi ganja medis di berbagai negara, yang sering kali menyebabkan undang-undang penggunaan rekreasi dipertimbangkan kembali. Saat ini, ada lebih dari 50 negara yang mengakui ganja sebagai tanaman obat. Kanada, Uruguay dan 15 negara bagian AS bahkan telah melegalkan ganja untuk keperluan rekreasi, yang kemungkinan akan segera disusul oleh Meksiko dan Luksemburg. “Ini kabar baik bagi jutaan orang yang menggunakan kanabis untuk keperluan terapeutik, dan mencerminkan realitas pasar produk obat berbahan ganja yang semakin berkembang,” bunyi siaran pers yang dirilis oleh sejumlah LSM reformasi obat. Anna Fordham, direktur utama Konsorsium Internasional Kebijakan Napza (IPDC), berujar pengakuan ini seharusnya “dilakukan sejak dulu”. Larangan PBB selama ini menghambat legalisasi ganja sebagai tanaman obat. “Keputusan asli (pada 1961) melarang penggunaan kanabis tanpa bukti ilmiah dan berakar pada prasangka kolonial dan rasisme,” tuturnya. “Keputusan itu mengabaikan hak dan tradisi masyarakat yang telah menanam dan menggunakan ganja untuk keperluan medis, terapi, agama dan budaya selama berabad-abad. Pada akhirnya, jutaan orang dikriminalisasi dan dipenjara (akibat memakai ganja) di seluruh dunia.” Walaupun manfaat medisnya sudah diakui, penggunaan mariyuana rekreasi tetap dilarang dalam Jadwal 1 Konvensi Tunggal Narkotika 1961, bersama dengan narkoba paling berbahaya seperti kokain dan fentanil. “Ini merupakan suatu kemajuan, tapi kita masih harus berurusan dengan sistem yang cacat dan sudah ketinggalan zaman,” Steve Rolles, anggota Transform Drug Policy Foundation di Inggris, memberi tahu VICE World News. “Ini tidak didasarkan pada bukti risiko, dan tidak membahas realitas gerakan reformasi yang berkembang. Perjalanan kita masih sangat panjang.”

KHASIAT GANJA

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Akan kah pemerintah akan mengikuti kebijakan PBB dan menghapus ganja dari daftar narkotika? Dosen Ilmu Farmakologi dari Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman, Mukti Priastomo mengatakan ganja alias mariyuana telah sejak lama menjadi bahan penelitian untuk dilihat khasiatnya pada beberapa penyakit. Kebanyakan, diujikan untuk penyakit epilepsi. Pada tanaman ganja kata Mukti, terdapat senyawa bernama cannabinoid yang sangat bermanfaat. "Senyawa ini kemudian banyak diteliti lebih lanjut. Setidaknya ada 144 senyawa cannabinoid yang berbeda pada canabis atau ganja," katanya menjelaskan. Dilihat dari sisi medis, ganja dapat menjadi peluang besar dalam pengembangan obat-obatan baru yang potensial. Di antaranya, sebagai anti epilepsi. Ada beberapa pengujian klinis pada manusia yang mengalami epilepsi. Kemudian diberi ganja, hasil kejang pada penderita epilepsi berkurang. Ganja juga berpotensi dikembangkan sebagai obat alzheimer. Ganja mampu menstimulasi kerja otak sehingga meningkatkan kemampuan otak untuk menyimpan memori dengan baik. Sehingga ia mendukung pengembangan ganja dalam ranah medis. Mengingat potensinya yang sangat dibutuhkan. Namun, perihal dukungan legalisasi ganja di Indonesia. Ia mengaku, akan mengikut pada ketentuan. Karena menurutnya potensi penyalahgunaan ganja di Indonesia, masih sangat tinggi. "Perlu kehati-hatian dalam memutuskan legal atau tidaknya," tandasnya. Menyikapi hasil jajak pendapat di PBB mengenai pelegalan ganja sebagai bahan obat. Menurut Mukti, perlu dilakukan kajian bersama apakah Indonesia perlu mengambil sikap yang sama dengan PBB. Apalagi patut digarisbawahi, pada keputusan PBB. Yang dilegalkan adalah penggunaan ganja sebagai bahan obat. Bukan untuk rekreasi atau penggunaan nonmedis. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: