Gapki: Program Biodiesel Untungkan Semua

Gapki: Program Biodiesel Untungkan Semua

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim, Azmal Ridwan mengakui program mandatori Biodiesel B30 menguntungkan pelaku usaha kelapa sawit.

Dari catatan Gapki nasional, produksi minyak sawit Indonesia sepanjang 2019 mencapai 51,8 juta ton CPO. Meningkat dari produksi sebelumnya. Pada tahun 2018 sebesar 47 juta ton. Sepanjang 2019 itu, permintaan domestik minyak sawit tumbuh sebesar 24 persen. Yakni sebesar 16,7 juta ton. Untuk konsumsi biodiesel, pangan, dan oleokimia. Meski konsumsi CPO dalam negeri meningkat. Untuk produksi biodiesel. Azmal menyebut, hal itu tak terlalu berpengaruh pada peningkatan harga CPO. Fluktuasi harga, kata dia ditentukan oleh banyak faktor. Selain faktor supply dan demand. Situasi global turut menentukan kondisi flutuasi harga minyak sawit. Apalagi di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang mempengaruhi volume ekspor CPO ke beberapa negara. "Masalah harga ini soal kebutuhan. Stok banyak, yang beli sedikit, harga turun. Stok terbatas tapi yang beli banyak, harga naik," kata Azmal kepada Disway-Nomor Satu Kaltim, Rabu (25/11/2020). Baca juga: Makan Hati Beleid Minyak Nabati Dengan peningkatan konsumsi CPO dalam negeri. Maka otomatis mengurangi volume ekspor CPO Indonesia. Bagi Azmal, hal itu tak menjadi soal. Yang terpenting, permintaan produksi CPO tetap terserap. "Sekarang ada yang beli dalam dan luar negeri ya silakan saja. Yang jadi soal itu, kalau tidak ada yang beli. Ini kan cuma pindah saja. Dari ekspor ke domestik," ungkapnya. Meski pun ia mengakui, ada perbedaan harga antara penjualan ekspor dan domestik. Penjualan ekspor dinilai lebih menguntungkan. Dibandingkan dengan penjualan domestik. Walau pun urusan administrasi perizinan dan ongkos yang dikeluarkan juga lebih besar. Namun, Azmal optimis, jika produksi biodiesel sudah masif. Dan kebutuhan CPO domestik semakin besar. Keuntungan yang diterima pelaku usaha juga akan sebanding dengan penjualan ekspor. "Kita mau kok jual ke dalam negeri. Daripada ekspor, repot cari kapal lah, ngurusin izin, resiko tenggelam di tengah laut, harus biaya, harus antri, kena peraturan pandemi dan segala macem." "Dalam negeri pun tidak masalah. Keuntungan sama atau pun berkurang. Yang penting tingkat kemudahanya juga bertambah," sambungnya. Ia juga menolak klaim yang menyebut, program mandatori B30 hanya menguntungkan pelaku usaha kelapa sawit. Biodiesel kata dia, adalah keniscayaan. Sebagai energi terbarukan yang menjadi alternatif dari kebutuhan minyak bumi yang semakin menipis. Dan CPO terbukti menjadi bahan baku biodiesel yang paling potensial saat ini. Dibanding dengan bahan nabati lainnya. Terkait rendahnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) ditingkat petani. Menurut Azmal, terjadi karena pihak petani menjual ke pengepul. Ia menyarankan, sebaiknya petani bisa membentuk koperasi. Dan melakukan perjanjian kerja sama dengan pabrik perkebunan. Agar harga yang diterima petani bisa sesuai dengan harga penetapan pemerintah. Dari data Dinas Perkebunan Kaltim, per Oktober 2020. Harga TBS sebesar Rp 1.762 per kilo gram untuk umur tanaman di atas 10 tahun. Dan harga CPO sebesar Rp 8.787 per kilo gram. Sementara, perihal pemerintah tidak bisa lagi mengintervensi industri untuk menggunakan biodiesel. Yang tertuang dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Azmal tak ambil pusing. Ia hanya memberikan pernyataan relatif. "Kalau masih ada pilihan (selain biodiesel) ya silakan. Tapi ketika nanti minyak bumi sudah habis. Mau pakai apa? Daun?" sindirnya.

Potensi Produksi Biodiesel di Kaltim

Azmal menyebut, Kaltim berpotensi membangun pabrik biodiesel. Mengingat, ketersediaan bahan baku CPO di Kaltim yang cukup melimpah. Tinggal bagaimana upaya pemerintah, menarik investor untuk memulai bisnis tersebut. "Kan ada badan yang mengurusi investasi daerah. Ya undang lah orang untuk berinvestasi. Kalau orang merasa tidak aman investasi ke Kaltim. Sampai hari raya gajah ya tidak akan jadi," keluhnya. Produksi biodiesel akan mendorong  hilirisasi industri sawit di Kaltim. Dan menciptakan industri turunan lainnya. Apalagi, produk turunan minyak sawit hampir mencakup seluruh kebutuhan hidup masyarakat. Mulai dari minyak goreng, mentega, produk kesehatan, dan kosmetik. Jika seluruh kebutuhan itu, dapat diproduksi Kaltim. Maka harga kebutuhan pokok akan lebih terjangkau bagi masyarakat. Karena diproduksi langsung di dalam daerah. Oleh karena itu, menurut Azmal, pemerintah daerah harus mulai menarik investor. Dan meyakinkan untuk mulai berinvestasi membangun industri hilir kelapa sawit di bumi Etam. Karena jika tidak ada jaminan itu, investor pasti ragu menanamkan modalnya di Kaltim. "Ini bukan urusan duit 250 perak. Kalau saya datang ke suatu tempat dengan kondisi yang tidak bisa diprediksi. Lalu investasi dengan ongkos besar. Itu bukan berani namanya. Bungul!" Ujarnya. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: