Siapkah Sekolah Tatap Muka?

Siapkah Sekolah Tatap Muka?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim mengizinkan pembelajaran atau sekolah tatap muka pada awal tahun 2021. Kebijakan ini disambut gembira berbagai kalangan, meski belum didukung Satgas Penanganan COVID-19. Di Kalimantan Timur, pemerintah daerah mulai bersiap.

nomorsatukaltim.com - Izin pembelajaran tatap muka ini dilakukan serentak mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam konferensi pers daring, baru-baru ini, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, daerah dan sekolah yang ingin tatap muka, segera meningkatkan kesiapan. “Terutama dalam pemenuhan protokol kesehatan,” katanya. Kemendikbud telah memutuskan pembukaan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka sejak Agustus lalu khusus daerah zona hijau dan kuning. Atau risiko rendah virus corona. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri. Yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran Baru 2020/2021 di masa Pandemi COVID-19. Kini, Kemendikbud kembali mengizinkan kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021. Namun, keputusannya, diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing. Nadiem menyebut pembelajaran tatap muka ini sifatnya diperbolehkan. Bukan wajib. Keputusan pun diserahkan kepada tiga pihak. Yakni pemerintah daerah, kepala sekolah, dan orang tua. "Perbedaan besar di SKB sebelumnya, peta zonasi risiko tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka. Tapi Pemda menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail," ungkapnya. Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, dr. Swandari Paramita. Enggan berkomentar banyak. Pasalnya, keputusan kembali membuka sekolah di masa pandemi. Diserahkan kepada Pemda. Dalam hal ini, pemerintah provinsi Kaltim. "Prinsipnya sepanjang protokol kesehatan dijalankan. Yakni memakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dan hindari kerumuman. Kalau ke empat itu bisa dilaksanakan sekolah dengan baik. Silakan!" ujarnya saat dihubungi Disway-Nomor Satu Kaltim, Senin (23/11/2020). Sementara, pemprov Kaltim belum merespon terkait kebijakan ini. Kalau pun sekolah kembali dibuka. Kemungkinan, menurut Swandari pemprov akan mempertimbangkan peta zonasi penyebaran virus di Bumi Etam. Wilayah dengan zona hijau seperti Mahakam Ulu kemungkinan akan dipersilakan untuk membuka pembelajaran tatap muka terlebih dahulu. Namun, wilayah dengan zona merah, seperti Balikpapan, Samarinda, dan sebagian besar daerah lainnya di Kaltim. Perlu pertimbangan matang. "Kalau pun berlaku, kemungkinan hybrid.  Ada yang tetap di rumah ada yang di sekolah," tutur Swandari. Hal ini ia katakan. Karena tak semua siswa memiliki ketahanan tubuh yang sama. Ada yang sehat dan mampu menjalankan aktivitas belajar di sekolah. Namun, ada pula yang menderita komorbid. Sehingga rentan akan penularan virus. Kewenangan izin bersekolah pun sepenuhnya diberikan kepada orang tua murid. Jika orang tua merasa keberatan dengan pembelajaran tatap muka di sekolah. Pembelajaran secara daring tetap diperbolehkan. "Restu orang tua perlu dipertimbangkan. Ada sebagian orang tua yang kurang berkenan dengan pembelajaran tatap muka. Karena mungkin ada penyakit bawaan tertentu yang membawa risiko," ungkapnya. Pemberlakuan jam sekolah, menurut Swandari sebaiknya juga tidak full day seperti sebelumnya. Pertimbangannya, karena daya tahan masker kain hanya 4 jam. Dan masker bedah hanya 6 jam saja. Dinas pendidikan tingkat kabupaten/kota juga perlu melakukan perundingan dengan pihak sekolah. Perihal kemampuan menerapkan protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Karena Swandari melihat, tak semua sekolah secara infrastruktur kebersihan. Mampu menciptakan fasilitas protokol kesehatan. "Tidak semua sekolah, mampu menyediakan wastafel untuk cuci tangan misalnya. Terutama, sekolah di pelosok daerah," ujarnya. Kebijakan pembelajaran tatap muka ini memang menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pihak menilai, kebijakan ini tidak realistis. Karena, positivity rate atau tingkat penularan virus corona di Indonesia masih di atas 10 persen. Di Kaltim, bahkan lebih tinggi. Yakni 15 persen. Padahal, saran Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Pelonggaran kegiatan di suatu negara bisa dilakukan jika posivity rate di bawah 5 persen. Salah satu orang tua murid, Noor Fitriana Sahid mengaku masih bimbang dengan kebijakan sekolah tatap muka. Ia sebenarnya setuju karena pembelajaran secara daring dinilai kurang efektif. Namun di sisi lain, masih tingginya penyebaran COVID-19 membuatnya khawatir. Apalagi Samarinda, masih berada dalam zona merah. "Serba salah ya. Cuma anak-anak  sudah bosan di rumah," ungkap Upit, sapaan akrabnya. Salah satu alternatifnya menurut dia adalah. Kelas tidak harus aktif secara penuh. Tapi dilakukan sistem pembagian waktu. Dan pembatasan jumlah murid setiap hari. Dengan begitu, situasi sekolah bisa lebih lengang. Dan menghindari risiko berkerumun. "Protokol COVID juga harus diperketat demi keamanan anak-anak kita," harapnya.

DAMPAK PJJ

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap aneka tekanan secara psikologis yang mendera anak selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring selama pandemi. Anak yang tidak bisa mengakses pelajaran dilaporkan banyak yang tidak naik kelas sampai putus sekolah. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, tekad sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum telah membuat siswa merasa terbebani. Ia mengingatkan bahwa kelelahan dan rasa tertekan yang dialami siswa akibat proses belajar daring itu merupakan bentuk kekerasan. Retno memberikan contoh kasus anak yang sampai dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama PJJ. Ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ atau mengikuti ujian secara daring. "Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang nyaris tidak terlayani oleh pendidikan," kata Retno seperti dilansir Republika.co.id. Retno mengatakan seorang siswa SMAN di salah satu sekolah di DKI Jakarta mengalami kelelahan dan stres saat mengerjakan tugas-tugas sekolah, terutama pada tugas mata pelajaran kimia. Siswa tersebut sudah berusaha menyelesaikan tugas-tugas berat yang waktu pengerjaannya pendek itu, tetapi karena kelelahan, siswa tersebut jatuh sakit hingga harus dilarikan ke IGD salah satu rumah sakit. Selain itu, ada juga siswa SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur, berinisial RVR yang dilaporkan tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara daring. Siswa tersebut tidak bisa ikut ujian karena komputer jinjing milik siswa kelas X tersebut rusak. Nilai akhir siswa tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adapun lima mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika. "Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya," kata Retno. KPAI mengingatkan, ada Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020. Edaran tersebut menyebutkan bahwa selama PJJ guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran dan lingkungan yang dapat menjadi kendala selama proses pembelajaran. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: