Dunia listrik Indonesia memasuki era baru --era unit 1.000 MW.
Bulan depan, Oktober.
Itulah era teknologi ultra super critical.
Itulah pembangkit terbesar yang bisa dibuat manusia. Satu unit bisa memproduksi 1.000 MW. Hanya bisa dikalahkan oleh pembangkit nuklir.
Proyek ultra super critical pertama sebenarnya yang ada di Batang, Jateng. Milik grup Adaro. Bekerja sama dengan Jepang. Menggunakan teknologi Jepang.
Saya masih ingat saat menandatangani dokumen-dokumennya. Dengan perasaan berkibar --Indonesia bisa memasuki era baru. Saya juga ingat saat ke Jepang. Membicarakan soal ini.
Tapi yang akan diresmikan bulan depan bukan yang di Batang itu. Melainkan yang di Banten.
Proyek Batang ternyata diselip oleh proyek Banten. Sama: 1.000 MW, sebanyak dua unit. Orang teknik menyebutnya 2 x 1.000 MW.
Begitu cepat proyek Banten itu. Bahkan lebih cepat dari jadwal semula: selesai tahun 2020.
Proyek Banten itu menggunakan teknologi Tiongkok. Boilernya Babcock & Wilcox Beijing, turbinnya Shanghai.
Kontraktornya, Zhejiang Thermal Power.
Pemilik proyeknya, SGPJB --patungan antara Shenhua (Tiongkok) dengan anak perusahaan PLN, PJB. Komposisinya 70 persen — 30 persen.
Masih ada satu lagi proyek ultra super critical: di Cilacap. Juga hampir selesai. Jangan-jangan di bulan depan juga. Boilernya Dongfang. Turbinnya Shanghai. Pemiliknya patungan Tiongkok, swasta Indonesia dan juga PJB.
Maka, tahun ini, Indonesia akan punya tiga lokasi. Yang menggunakan teknologi ultra super critical.
Itulah teknologi yang sangat efisien.
Kunci utamanya di boiler. Tempat masak air itu. Yang akan menghasilkan uap itu.
Boiler ultra super critical bisa dipanasi sampai 630 derajat celsius.
Itulah mengapa disebut ultra super critical.
Efisiennya bisa mencapai 42 persen. Bandingkan dengan unit yang 600 MW --apalagi yang 300 MW. Yang efisiensinya hanya sekitar 30 persen.
Pun bisa dibayangkan, betapa rendah efisiensi unit yang hanya 100 mw --apalagi hanya 25 MW. Hanya sekitar 25 persen.
Kian kecil unit pembangkit, kian tidak efisien. Dan sebaliknya.
Tiongkok begitu cepat mengejar teknologi 1.000 MW ini. Saya pernah ke Shanghai. Pada 2010. Untuk melihat PLTU ultra super critical pertama 'Made in China'. Sejak itu, Tiongkok berubah total. Pembangkit kecil dilarang dibangun. Yang sudah ada pun harus dibongkar.
Saya begitu ngiler --menititkkan air liur-- melihat begitu banyak PLTU yang dihancurkan. Hanya karena ukurannya kecil.
Dan yang dimaksud kecil itu adalah 300 MW ke bawah.
Bayangkan, unit 300 MW harus dibongkar. Banyak yang masih baru. Hanya karena dianggap tidak efisien. Juga kurang ramah lingkungan.
Padahal, untuk kita, unit 300 MW itu sudah tergolong besar. Seluruh Kalimantan pun belum punya. Sulawesi belum punya. Bali ke timur belum punya. Maluku-Papua apalagi.
Di Tiongkok dihancurkan. Begitu pengin saya memindahkannya ke Indonesia. Tapi terkendala peraturan.
Di Jawa sudah lumayan. Umumnya unit pembangkit di Jawa adalah 600 MW. Di Sumatera umumnya yang 300 MW.
Kebutuhan listrik di masing-masing wilayah lah kuncinya. Untuk menentukan kebijakan ukuran unit pembangkit yang harus dibangun.
Dengan teknologi ultra super critical bukan hanya lebih efisien. Secara lingkungan juga lebih bersih.
Kalau tiga lokasi ultra super critical itu sudah beroperasi, bukan main. Betapa murahnya sumber listrik di Jawa.
Saya bisa menghitung berapa triliun yang bisa dihemat PLN. Hanya dari tiga lokasi ultra super critical tadi.
Tapi tolong, please, ada pembaca yang bisa menyampaikan hitungan itu di kolom komentar DI's Way hari ini.
Inilah cara yang benar melakukan efisiensi. Bukan lewat cara memotong biaya pemeliharaan. Yang menghemat satu pohon sengon bisa memboroskan Rp 1 triliun.
Ada lagi yang harus membuat kita gembira. Tapi sssttttt...! ini hanya untuk orang di Jawa. Pembangkit ultra super critical Banten itu lokasinya di Jawa bagian barat. Ini berarti memperbaiki perimbangan Timur-Barat.
Artinya: kejadian mati lampu yang menghebohkan itu tidak akan terulang lagi. Dengan penyebab yang sama. Entahlah kalau ada penyebab lainnya.
Selamat datang teknologi ultra super critical! (Dahlan Iskan)