Mufakat Kanjeng Sinuhun (7): Uang di Rekening Itu Raib

Mufakat Kanjeng Sinuhun (7): Uang di Rekening Itu Raib

H Tiwo gusar. Tiba-tiba uang dalam rekeningnya raib begitu saja. Padahal baru sehari lalu ia jelas melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ditunjukkan oleh pegawai bank bahwa ada sejumlah transferan uang masuk. Padahal uang tersebut bukan untuk dirinya sendiri. Apakah para pemangku kota berbohong? Apakah para sinuhun juga ingkar?

--------------------------

MUFAKAT KANJENG SINUHUN - Sore itu, empat pemilik lahan; Sentot, Ali, Nadirin dan Syamsuddin berbarengan mendatangi rumah H Tiwo. Mereka mendapat informasi dari Anita Rossy bahwa uang jual beli lahan proyek perluasan lahan pertanian 1.000 hektare itu, sudah cair. Sebelumnya telah disepakati, proses pembayarannya melalui satu orang. Yakni H Tiwo.

Mereka juga sebelumnya sering menghubungi Anita Rossy—yang menjadi perantara para sinuhun dan Pemangku Kota Ulin dalam proses jual beli beli tanah. Namun, setelah itu Anita sulit dihubungi. Kalau pun tersambung, jawabannya kurang memuaskan. “Ntar, nanti atau besok dicek ya”—kata-kata itu yang kerap diterima para pemilik lahan. Padahal menurut kesepakatan, seharusnya sudah terbayar bulan lalu.

Tiba-tiba sehari sebelumnya, mereka mendapat informasi uang senilai 2,5 miliar itu sudah ditransfer ke rekening H Tiwo. Sentot pun sejak pagi menghubungi H Tiwo. Tapi rupanya belum diangkat. Pesan elektronik pun belum dibalas. Itu yang membuat Sentot berang. Ia pun mendatangi tiga pemilik lahan lainnya; Ali, Nadirin dan Syamsuddin. Rupanya nasibnya sama. Ketiganya belum mendapat uang dari hasil penjualan lahan tersebut.

“Masa sih, H Tiwo mau nilep uang kita?. Setahu saya dia orang baik,” tanya Nadirin.

“Iya. Buktinya, ini katanya sudah cair. Tapi kok belum dikasih kita. Dari pagi aku telepon pun tidak diangkatnya,” kata Sentot.

Sentot terlihat yang paling emosi dengan kondisi itu. Ia merasa butuh dana dengan segera. Untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Ali dan Syamsudin pun tampak sepemahaman dengan Sentot. Ada yang aneh dengan H Tiwo ini.

“Coba kita tanya langsung saja. Jangan dulu menuduh…,” kata Nadirin. Mencoba menenangkan tiga orang rekannya sesama  pemilik lahan.

*****

Tok, tok tok…. Pak Haji.

Sentot mengetuk pintu rumah H Tiwo. Yang punya rumah belum juga menjawab. Sentot semakin penasaran. Diketoknya lagi lebih keras. Kali ini tidak hanya pintu. Tapi juga kaca dan jendela rumahnya. Sentot berputar setengah mengelilingi rumah itu. Ia yakin. Ada penghuni rumahnya. Pasalnya dua motor H Tiwo masih terparkir di depan. Pun begitu dengan mobil pikap keluaran tahun lama milik H Tiwo, masih bertengger di garasi.

Biasanya mobil pikap itulah yang digunakan H Tiwo jika bepergian keluar Desa Titik Jauh. Mobil itu pula yang digunakan H Tiwo untuk membawa sahang miliknya kepada pengepul di desa tetangga.

H Tiwo memang ada di dalam rumah. Ia juga tahu kalau ada tamu. Namun ia belum mau lekas membukakan pintu. Masih memikirkan apa kira-kira jawaban yang pas. Karena ia yakin, Sentot dan yang lainnya pasti menaruh curiga. Jika dirinya menilep uang hasil penjualan lahan itu.

Ya…sebaiknya mungkin disampaikan dengan jujur. Karena memang uangnya tiba-tiba raib dari rekening. Dari pada berlarut-larut. Toh ia juga nantinya yang akan tertimpa buntutnya--- gumamnya. Lebih baik ini menjadi persoalan bersama untuk mengajukan tuntutan kepada para pemangku kota. Jangan kita yang dipecah belah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: