Menjaga Kewarasan saat Pandemi COVID-19

Menjaga Kewarasan saat Pandemi COVID-19

OLEH: KHEYENE MOLEKANDELLA BOER*

Hampir delapan bulan kita disibukan oleh COVID-19. Beragam protokol kesehatan mulai terbiasa kita terapkan. Kebiasaan baru pun mau tidak mau harus dilakukan. Demi berakhirnya pandemi ini. Di beberapa daerah, pemerintah mulai berani mengambil membuka industri hiburan. Dengan alasan memulai untuk kembali menggenjot roda perekonomian daerah. Di balik surutnya perekonomian negara, juga terdapat keletihan psikologis. Akibat kesehatan mental yang terus diombang-ambing oleh kondisi pandemi yang tak berkesudahan ini.

Kesehatan mental masyarakat tengah diuji. Tiap hari masyarakat disajikan beragam informasi pasien COVID-19 yang dinyatakan sembuh hingga korban kematian yang jumlahnya terus-menerus meningkat. Informasi terkadang pula menjadi bumerang yang dapat menyerang psikis jika kita tak pandai mengelolanya. Namun memang nampaknya sukar dilakukan. Mengingat virus ini tak sedikit menciptakan kesenjangan komunikasi. Contohnya bagi si penderita COVID-19 dan tenaga kesehatan  dengan masyarakat yang otomatis menjauh secara sosial atau fenomena beragam aksi penolakan pemakaman bagi korban COVID-19 di wilayah tertentu.

Masalah-masalah sosial seperti di atas sebagai bukti bahwa ketakutan, kegelisahan masyarakat berdampak pada ketidaklogisan dalam berperilaku. Masih banyak pula yang menghindar secara sosial kepada penderita COVID-19. Padahal virus corona dapat dilawan. Salah satu faktor terbesar penyembuhan adalah pikiran positif dan hati yang selalu bahagia. Komunikasi empati diperlukan di masa-masa sulit ini. Empati yakni sebuah perasaan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Komunikasi empati bertujuan menciptakan keselaran hubungan dengan mengedepankan aspek emosional yang kuat. Sehingga akan tercipta komunikasi efektif. Tidak ada yang dominan antara pelaku komunikasi. Khususnya si penderita COVID-19 dengan orang yang tidak terinfeksi. Begitupun dalam praktik komunikasi lainnya.

Empati sebagai kondisi melihat, merasakan melalui perspektif orang lain yang berfokus pada mamainkan peran dengan melibatkan diri lebih dalam kepada lawan bicara. Hal ini dapat menjadi pijakan dasar untuk menggapai kesatuan komunikasi yang seimbang. Tidak ada yang mendominasi.

Kejenuhan juga terasa saat masyarakat harus memininalisasi kegiatan di luar rumah, mengubah ritme-ritme kerja menjadi tak biasa, cenderung monoton dan minim interaksi langsung, tentunya akan menciptakan kejenuhan luar biasa. Potensi konflik dalam lingkungan keluarga juga akan semakin tinggi. Di sini perlu pula sesama anggota keluarga menerapkan komunikasi empati. Merawat 'kewarasan' pikiran, mental dengan cara supporting antar anggota keluarga. Saling memahami rasa, menghargai, mendengarkan beragam keluhan dan mencari solusi bersama meski dalam keterbatasan ruang. Semuanya dapat diatasi dengan komunikasi empati.

Seiring masalah mental yang harus dikelola dengan baik, pemerintah juga masih terus berupaya menciptakan kondisi terbaik. Masyarakat dibuat menunggu dengan banyak rasa, berharap, gelisah, dan takut. Bertanya-tanya apakah keadaan akan menjadi lebih baik atau sebaliknya. Sambil kita bergandengan tangan membantu pemerintah. Menekan angka kematian. Dengan meminimalisasi kegiatan di luar rumah, mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Seraya dengan itu, mari kita bangun komunikasi empati. Baik dalam lingkungan keluarga ataupun lingkungan eksternal kita. Mengubah kondisi komunikasi dari monologis ke komunikasi dialogis. Yang mengutamakan kesetaraan dan kesimbangan peran.

Dengan komunikasi empati akan terbangun kualitas hubungan yang jauh lebih menyentuh hati, rasa, emosional. Yang berujung pada munculnya kekuatan, kredibilitas antar pelaku komunikasi dan berujung pada optimisme melewati pandemi COVID-19. Dengan kesetaraan peran yang seimbang. Dalam kerangka komunikasi. (*Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman dan Founders Sparkling Communications)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: