Berjalan Bersama Para Pemuda
OLEH: IMRAN DUSE*
Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan momentum istimewa. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Momen ini ditandai kecondongan kultural dan politik kaum muda. Yang direpresentasikan berbagai organisasi kedaerahan pemuda. Yang bertautan dan saling menyapa. Dalam membangun mimpi menjadi “Indonesia”.
Inilah pertama kali kata Indonesia didengungkan. Untuk menyebut negara-bangsa yang “akan dilahirkan” kelak. Sekaligus komitmen semangat egalitarian dan pernyataan penolakan terhadap diskriminasi. Atribut-atribut kesukuan, ras dan agama, secara sadar dikesampingkan oleh kaum muda ketika itu.
Momentum bersejarah itu kemudian menjadi muara kisah heroik. Dalam memberikan jawaban atas panggilan sejarah: menemukan identitas yang menjadi pijakan. Dalam merumuskan “keindonesiaan” yang dicita-citakan.
Tahun ini, peringatan ke-92 Sumpah Pemuda, bisa jadi akan terasa berbeda dengan sebelumnya. Gelombang aksi unjuk rasa sejumlah elemen masyarakat terkait penolakan Omnibus Law Ciptaker, kecemasan publik terhadap pandemi COVID-19 yang masih besar di tengah berlangsungnya kampanye pilkada, serta berbagai agenda nasional yang menyita perhatian publik, menjadikan peringatan Sumpah Pemuda tahun ini terasa kurang khidmat.
Kendati demikian, sebagai momen penting dalam tonggak sejarah perjalanan bangsa, tentulah tak bisa dilewatkan begitu saja. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengenang atau mungkin juga berkaca pada peristiwa heroik itu. Salah satunya dengan menulis: menengok selintas heroisme para pemuda itu, sembari menangkap jejak yang mungkin dapat berguna. Dalam menjawab tantangan bangsa hari ini.
CHALLENGE AND RESPONSE
Di semua masa, pekikan lantang pemuda nyaris selalu hadir menyuarakan kegelisahan zamannya. Tatkala anomali merajalela dan pada saat bersamaan perangkat-perangkat yang mestinya menjaga sistem nilai tidak lagi menjalankan tugas, pada saat itulah akan selalu muncul suara protes dan desakan perubahan dari pemuda.
Secara tepat, realitas tersebut dirumuskan sejarawan Arnold Toynbee, penulis buku A Study of History, dalam suatu pengertian yang disebutnya “challenge and response”. Menurut Maha Guru Universitas London itu, sebuah peradaban dapat timbul dan tenggelam dimungkinkan oleh “tarik-menarik” antara tantangan dan sahutantersebut. Antara rangsang-rangsang yang dipantulkan situasi buruk (challenge). Yang mengakibatkan munculnya sahutan (response).
Keadaan demikian bahkan berlangsung sejak zaman Fir’aun. Ketika penguasa establismen diruntuhkan pada saat kejatuhan Dinasti Keenam. Atau pada era Romawi-Yunani, di mana kekuasaan establismen digulingkan dalam abad ketiga. Begitu juga dengan peristiwa Revolusi Prancis dan runtuhnya Dinasty Ching di China.
Yang menarik, pada hampir setiap momen penting tersebut, perlawanan terhadap kemapanan pada umumnya dilancarkan dan dipelopori kalangan pemuda. Selain itu, juga terjadi perbedaan pandangan antara para pemuda dengan generasi terdahulu.
Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, perbedaan pandangan antara generasi muda dengan generasi tua juga selalu muncul. Karena itu pula, dalam hampir setiap momen penting pergerakan kebangsaan, suara desakan perubahan selalu dipelopori oleh kalangan pemuda. Nyaris tak ada peristiwa penting dan heroik yang tidak mengukir keterlibatan dan peran signifikan para pemuda.
PERIODE KEBANGKITAN
Profesor Mubyarto merumuskan berbagai momen penting pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam apa yang disebutnya “enam periode kebangkitan”. Berbeda dengan sejumlah buku sejarah dan publikasi ilmiah lainnya, Mubyarto (2003) menyebut R.A. Kartini sebagai tonggak awal. Dalam rangkaian peristiwa bersejarah. Yang terjadi menuju Indonesia merdeka.
Tampak jelas bahwa pemuda mempunyai saham yang tidak sedikit. Dalam pergerakan perjuangan serta perubahan iklim politik pasca-kemerdekaan. Terlihat pula bahwa interval waktu periode terpendek adalah 17 tahun, dan yang terpanjang 32 tahun. Sehingga rata-rata jarak antar periode 24 tahun. Kira-kira sama dengan satu generasi.
Artinya, di setiap pergerakan, selalu saja lahir dari sebuah generasi baru yang bertumbuh. Meski begitu, asas gerakan mereka tak boleh dikatakan berdiri sendiri-sendiri. Sebab, perjalanan waktu pemuda di sebuah masa akan memengaruhi dinamika pemikiran pemuda di masa selanjutnya.
Pengaruh itu bahkan menjadi energi penyemangat. Ambil contoh Budi Utomo dan Sumpah Pemuda. Meski berjarak 20 tahun, tak ada yang membantah bahwa dua “kebangkitan” itu bertalian erat satu sama lain.
Begitu juga, tak terbantahkan bahwa ikrar pemuda itu telah menggelorakan semangat nasionalisme yang dahsyat. Gelora yang menyembul dan melahirkan letupan patriotisme dan menegasikan segala bentuk ketertindasan serta penjajahan kolonialis.
Sejarah pun mencatat dengan tinta emas kisah perjuangan para pemuda itu. Berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Terlihat begitu sederhana dan retoris. Namun, itulah yang mengobarkan semangat perlawanan. Para pemuda tak lagi terpecah belah. Tak lagi berjuang dengan nafas kedaerahan. Melainkan demi pembebasan tanah air Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: