Ketika Politisi Indonesia Kehilangan Empati
OLEH: SYAMSUDDIN*
“Put yourself in my shoes” (tempatkan dirimu pada posisiku)adalah idiom yang sering sekali digunakan ketika hendak membecarakan ihwal empati. Emphatheia dalam bahasa Yunani berarti kemampuan untuk merasakan. Apa yang dirasakan? Jika dijawab dalam perspektif ontologi filsafat, bahwa kita merasakan kehadiran yang lain (the others).
Menyadari arti penting kehadiran yang lain menyangkut eksistensi individu maupun masyarakat. Bahasa anak kekinian yang populer, empati diterjemahkan sebagai kepekaan. Peka terhadap realitas sebagai pusat eksistensinya.
Stein dan Howard (2002) menyebut empati sebagai kemampuan menyadari, memahami, dan menghargai perasaan orang lain. Maka kemampuan dapat disandingkan pengertiannya dengan kecerdasan (intellegency). Artinya, sikap empati itu lahir dari asas kecerdasan dalam filsafat disebut sebagai consciousnees (kesadaran)—keceradasan adalah kesadaran.
Realitas politik praktis yang lahir dari mesin industri hanya menyuguhkan kesan-kesan (persona) yang memanipulasi kesadaran masyarakat dengan limbah industri politik. Maka tak heran jika sering sekali kepekaan itu mati di ruang publik. Salah satu variabel penyebabnya adalah limbah industri politik—awal bagi terdegradasinya rasa empati di ruang publik.
Jika bersandar pada pendapat Stein dan Howard di atas sebagai dasar analisis, kita dapat melihat realitas politik praktis kehilangan hal yang paling asasi dari tujuan politik. Apa itu? Empati. Politik tanpa kecerdasan empati artinya politik tidak memiliki kecerdasan memahami, menyadari, dan menghargai eksistensi masyarakat dalam sistem politik demokrasi.
Dalam sistem politik demokrasi, eksistensi atau keberadaan masyarakat dinilai karena memiliki suara. Selebihnya is not eksis. Paradigma empati dalam sistem politik mengalami pembiasan yang disebabkan cara pandang legal formal. Argumentasi politisi dan pejabat publik selalu berada dalam mindset formal “aturan dan undang-undangnya seperti ini”. Argumentasi tersebut bisa dipahami. Akan tetapi argumentasi formal itu menutup hal yang paling fitri dimiliki oleh pejabat publik. Mereka lupa dengan eksitensinya sebagai manusia yang memiliki modalitas fitrah.
Selain itu, kita bisa melihat produk legislasinya dari program legislasi nasional (prolegnas) yang bisa disahkan sebagai undang-undang. Kebanyakan dari produk legislasinya menuai penolakan: RUU Cipta Kerja, Omnibus Law, dan RUU PKS contohnya. Produk legislasi dari industri politik tidak menyentuh hal fitri publik. Kenapa ini terjadi? Karena legislatif kita tidak memiliki kecedasan empati.
Bagaimana publik bisa berempati pada proses politik yang demikian, sementara kepentingan publik tidak tersentuh oleh paradigma yang sehat dari produk undang-undang yang disahkan. Ataukah kepekaan legislasi dan pejabat publik hanya kepada elit-elit tertentu (oligarki)? Kita bisa lihat bagaimana UU Minerba disahkan di saat publik sedang meghadapi pandemi.
Belum lagi pilkada serentak yang tetap berlangsung hingga 9 Desember 2020. Semestinya KPU, Bawaslu, DPR, dan kementrian terkait mendengar suara publik yang meminta pilkada serentak untuk ditunda. Karena negara dan publik sedang menghadapi situasi pandemi COVID-19 yang angka penyebaran dan kematiannya semikin meningkat.
Penyelenggara pemilu, mesti berempati untuk memahami, menyadari, dan menghargai situasi yang sedang dihadapi publik di era pandemi ini. Tidak sembunyi di balik argumentasi formal aturan dan UU PKPU. Seberapa besar daya KPU untuk bisa menjaga kondusifitas pilkada? Bagaimana upaya KPU bisa memaksimalkan protokoler kesehatan? Ini semua butuh pertimbangan dan dengar pendapat dari berbagai lingkup publik.
Perlu sekiranya KPU dan Bawaslu mendegar berbagai rekomendasi organisasi masyarakat dan keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang meminta pilkada serentak untuk ditunda penyelenggaraannya serta mengalihkan anggaran pilkada. Untuk membantu publik menghadapi resesi ekonomi dan pemerintah dalam mengupayakan COVID-19. Agar dapat teratasi penyebarannya.
Dalam situasi seperti ini, pejabat publik, politisi, dan penyelenggara pemilu mesti mengedapankan politik empati daripada argumentasi-argumentasi formal yang menyakiti batin masyarakat seperti idom di atas, “Wahai pejabat publik, tempatkan dirimu di posisi publik”. (*Pegiat JAKFI Nusantara Kota Samarinda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: