Suara Millenial

Suara Millenial

Cerdas. Juga Cantik. Suaranya menawan hati. Millenial lagi. Sedikit mirip istri saya. Ketika seusianya –khawatir saat tidur dipunggungi istri. Kali pertama saya melihatnya kemarin. Di kanal YouTube Indonesia Lawyers Club. Yang sudah ditonton 412.382 kali itu. Tengoklah di kanal tersebut. Kecerdasannya saat berbicara. Bisa membuat orang terpana. Sampai saya melacak Instagramnya. Hingga akhirnya menjadi followersnya. Berita tentangnya juga menjadi buruan ribuan orang. Hingga pukul 14.30 WIB kemarin (21/8), namanya masuk tangga viral Google Trend. Sudah lebih lima ribu kali ditelusuri. Dia adalah Sherly Annavita. Millenial berprestasi asal Aceh. Lahir 12 September 1992. Alumnus Universitas Paramadina. Jurusan Hubungan Internasional. Di media sosial, Sherly cukup populer. Pengikut Instagramnya mencapai 386 ribu, sedangkan Twitternya 11 ribu. Dari medsosnya diketahui Sherly seorang influencer yang sering berbagi motivasi. Agendanya sebagai motivator ter-posting. Termasuk sederet prestasinya. Di antaranya sebagai Master of Social Impact, Swinburne, Australia. Pada 2010, Sherly juga meraih juara pertama Syarhil Quran pada MTQ Aceh Utara. Saat ini, dia sedang menjadi ”rumpian”. Sebab di acara ILC bertajuk Perlukah Ibu Kota Pindah yang berlangsung Selasa (20/8) malam, Sherly menyindir Presiden Jokowi. Terkait rencana tersebut. Dia mengatakan, jika keputusan pemindahan ibu kota ke Kalimantan hanya karena banjir, macet dan polusi, maka Presiden Jokowi seolah sedang mengonfirmasi kegagalannya dalam janji kampanyenya saat pilgub dan pilpres. Atau kegagalannya sebagai gubernur dan presiden. Dia juga mempertanyakan alasan pemindahan ibu kota karena untuk pemerataan pembangunan. ”Apakah ada jaminan jika dipindahkan akan ada pemerataan?” tanya dia. Sherly menegaskan, pemindahan ibu kota bukan hal yang mendesak. Apalagi dana yang diperlukan sampai Rp466 triliun. Terlebih kalau sumbernya dari penjualan aset atau utang. Di sisi lain ada banyak sekali pekerjaan yang lebih mendesak, yakni soal pengangguran, penyediaan lapangan kerja, BPJS, juga BUMN strategis yang terancam bangkrut. ”Jangan sampai mengesampingkan sesuatu yang harus diprioritaskan,” ingatnya. Lebih-lebih, kondisi keuangan negara juga mengkhawatirkan. Tidak sedang baik-baik saja. Bunga utang saja sudah Rp 275 triliun. ”Kan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan, kepastian kesejahteran honorer yang sifatnya masyarakat bisa diuntungkan,” ungkapnya. Solusinya saat ini menurutnya adalah kembali ke asas efektifitas, efisiensi, penciptaan lapangan kerja, pemberantasan KKN. Utamanya kembali menegakkan UUD Pasal 33 dengan murni dan konsekuen. ”Saya pikir anak muda tidak peduli siapa presidennya. Tapi akan peduli terhadap kinerjanya, apa dampaknya terhadap kami,” ucap Sherly. Sherly juga mendoakan Presiden Jokowi supaya di periode keduanya bisa lebih baik, lebih peka lagi dengan kebutuhan rakyat. Dimampukan oleh Yang Maha Kuasa untuk melunasi janji-janji kampanyenya. ”Sehingga kita akan melihat bukan makian dan cacian yang nantinya akan diterima, melainkan doa-doa dari seluruh masyarakat Indonesia kepada beliau,” pungkasnya. Kritikan Sherly ini menjadi pemberitaan media massa. Sehingga namanya kian diperbincangkan. Termasuk menjadi bahan utama obrolan saya dengan Dosen Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung (UBL) I.B. Ilham Malik. Kemarin. Doktor lulusan The University of Kitakyushu, Jepang ini juga memiliki pandangan hampir sama dengan Sherly. Dia menilai, pemindahan ibu kota itu belum ada parameternya. Menurut dia, seharusnya, semua kajian teknis dan non teknis menjadi pijakan pemerintah untuk mengambil kebijakan. Dan semuanya itu berbasis kalkulasi kuantitatif. Bukan hanya kualitatif. ”Negara yang berhasil memindahkan ibukotanya adalah negara yang mempertimbangankan analisis kuantitatif,” ingatnya. Dalam pemindahan ibu kota ini, ia melihatnya pemerintah masih menggunakan parameter makro. Tidak mengajak peneliti, tapi hanya berbicara dengan konsultan. ”Harus diingat, konsultan itu belum tentu ahli. Kita harus mendapatkan perspektif yang sangat luas. Sampai kita masuk ke layak atau tidak layak. Bukan apa yang terjadi sekarang, tapi ke depannya bagaimana?” tegasnya. Menurutnya, Bappenas bisa minta bantuan perguruan tinggi (PT) untuk mengkajinya. Seperti ahli-ahli dari Universitas Pembangunan Jaya atau Universitas Diponegoro. ”Setahu saya, dua PT ini yang ’tawadhu’ membahas hal tersebut,” ucapnya. Ilham juga melihat ada kelucuan dalam pemindahan ibu kota ini. Sebab, planning belum dilakukan, tetapi desainnya sudah dibuat. ”Harusnya itu, planning makro, design, terus DED, dan selanjutnya. Ini planning belum, tiba-tiba ada design, kan lucu!” katanya. Pastinya, menurut dia pemindahan ibu kota parameternya belum masuk ke fase boleh pindah. Tetapi baru di tahap pindah atau tidak pindah. ”Kalau saya boleh pinjam istilah Pak Dahlan Iskan, taraf pemindahan ibu kota ini masih di level syariat, jadi jangan dipaksa tiba-tiba ma’rifat. Bisa gila nanti!” sindirnya. Dia yakin Bappenas menyadari pemindahan ibu kota masih di level yang disebutkan. Tapi sepertinya istana punya pandangan lain. ”Saya melihat Bappenas saat ini sedang mengimbangi kemauan istana,” nilainya. Mendengar penjelasan I.B. Ilham Malik ini cukup membuat saya khawatir. Jangan sampai pemindahan ibu kota malah membuat negara bangkrut. Imbasnya tentu ke saya juga. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Jika memang belum saatnya, Presiden Jokowi masih sangat bisa menarik kebijakannya memindahkan ibu kota ini. Atau menundanya. Sampai benar-benar siap. Mengutip perkataan Pak Dahlan Iskan dalam tulisannya berjudul Pertanda Resesi: Menelan ludah sendiri memang tidak terhormat. Tapi lebih tidak terhormat lagi diludahi orang ramai-ramai. Kalimantan juga harus pelajari dampaknya ketika ibu kota dipindahkan ke sana. Jangan untungnya saja dipikirkan. Kerugiannya juga harus ditimang-timang. Terlebih ada quote terkenal yang mengatakan: sekejam-kejamnya ibu tiri, masih lebih kejam ibu kota.(Wirahadikusumah)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: