Melayat Drive-Through

Melayat Drive-Through

AWALNYA mau diam-diam saja. Toh, mayat Suwiro Widjojo sudah dikremasi. Di hari kematian itu juga. Dengan prosedur Covid-19. Tapi telepon masuk tidak terbendung. Terlalu banyak yang ingin memberikan penghormatan terakhir pada Suwiro. Termasuk yang mau mengirim bunga duka-cita.

Mayat Suwiro sudah dikremasi, hari Minggu pekan lalu. Keluarga ini juga masih punya duka tambahan: kakak sulung Suwiro juga menderita Covid-19. Pun istri kakak sulung itu. Bahkan istri Suwiro juga tertular. Tiga orang itu masih dirawat intensif di rumah sakit. Tanpa tahu kalau adik nomor 3 sudah meninggal dunia.

“Akhirnya saya usulkan acara melayat dengan cara drive-through ini. Selama dua hari,” ujar Helen Widjaja, adik almarhum.

Saya melayat drive-through di hari kedua. Di jam terakhir. Sekalian agar mobil saya tidak perlu mengganggu mobil yang datang berikutnya. Saya ingin memberikan penghormatan tidak dari dalam mobil.

Saya tahu acara meisong itu akan ditutup kemarin dulu pukul 17.00. Maka saya berangkat dari kantor Harian DI’s Way pukul 17.00. Tentu saya menghubungi Helen dulu. Agar acara meisong jangan ditutup dulu. Toh, tidak ada mayat di situ yang harus segera diberangkatkan ke pemakaman.

Sudah sepi. Tinggal tiga adik dan anak-anak almarhum yang masih di tempat acara. Disertai beberapa manajer inti di perusahaan sepatu itu.

Tanpa petunjuk Google Map saya tahu di mana mobil harus belok —ikut karangan bunga. Sejak di jalan raya, karangan bunga berjajar tidak terhitung lagi. Pun di jalan masuk ke tempat acara: penuh dengan karangan bunga.

Tempat meisong itu di pabrik sepatunya yang no 3. Seluas 2,5 hektare. Di sebelah pabrik sepatu no 4 yang lebih luas. Masuk kompleks pabrik ini, mobil saya diberhentikan. Seorang petugas ‘menembak’ kening saya: 36 derajat Celsius. Juga kening Kang Sahidin yang mengemudikan mobil: 36 derajat.

Di tahap berikutnya ada petugas yang membagikan penutup wajah yang bening itu. Yang diproduksi di pabrik itu juga. Di situ orang yang meisong juga diberi spidol dan dua lembar kertas merah.

Lembar pertama untuk diisi nama dan nomor telepon. Ini penting untuk pelacakan Covid-19—bila diperlukan kelak. Lembar keduanya, kertas kosong: boleh menulis kenangan apa saja untuk almarhum. Bagi yang mau, tulisan itu akan ditempel di papan yang dipajang di tempat meisong.

Dari tempat pembagian spidol+kertas itu cukup jauh ke lokasi penghormatan. Cukup waktu untuk menulis. Apalagi kalau masih harus lama berhenti. Untuk antre drive-through.

Sebenarnya petugas meisong  minta saya tetap di mobil. Tapi saya memutuskan turun. Saya akan memberi penghormatan secara khusus.

Keluarga ini adalah contoh kegigihan, kerja keras, dan hidup sederhana. Pun di kala sudah kaya raya. Almarhum juga contoh bagaimana hidup sehat dengan berolahraga. Almarhum sangat rajin berenang dan jalan sehat. Ia tahu saya disiplin senam dansa setiap hari. Maka ia minta agar seminggu sekali saya senam di lokasi ia jalan sehat: di lapangan KONI Jatim.

Permintaan itu saya penuhi. Seminggu sekali kami senam ramai-ramai di lapangan itu. Ratusan orang jalan sehat mengelilingi lapangan. Sebagian ikut senam gaya DI’s Way. Itu berlangsung beberapa bulan. Sampai musim hujan tiba: tidak bisa untuk senam di tengah lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: