BI Sebut Devaluasi Yuan Tiongkok Tidak Semakin Gerus Ekspor RI

BI Sebut Devaluasi Yuan Tiongkok Tidak Semakin Gerus Ekspor RI

Foto Ilustrasi

Jakarta, DiswayKaltim.com - Bank Indonesia memandang pelemahan kurs mata uang Yuan, Tiongkok, tidak akan semakin menggerus kinerja ekspor Indonesia, jika volume permintaan yang tinggi tetap terjaga dan perluasan pasar ekspor.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di sela diskusi di Gedung BI, Jakarta, Senin (13/8/2019) mengatakan, secara jangka pendek, mata uang Yuan yang terdevaluasi tidak akan berpengaruh terhadap perdagangan ke mancanegara dari Indonesia.

Dia menyebutkan, faktor yang akan sangat berpengaruh adalah jika terjadi pelemahan permintaan atau penurunan kualitas barang ekspor Indonesia.

“Kita tidak terpengaruh banyak dari sisi (devaluasi) Yuan, karena porsi kita bukan ditentukan dari sisi nilai tukar. Transaksi ekspor dalam jangka pendek tidak terkait banyak dengan devaluasi Yuan, tapi lebih ke permintaan dan kualitas,” ujar dia.

Pemerintah Indonesia tengah berupaya menggenjot ekspor dengan perluasan pasar termasuk melalui upaya peningkatan perdagangan bilateral.

Kontraksi kinerja ekspor selama kuartal II 2019 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada kuartal II 2019, pertumbuhan ekspor tercatat minus 1,81 persen (yoy), padahal pada kuartal II 2018 ekspor masih tumbuh 7,65 persen (yoy).

Terkait dampak pelemahan yuan yang berpotensi meningkatkan risiko di pasar keuangan dan bisa menggerus nilai tukar rupiah, Dody mengatakan BI akan selalu bersiaga di pasar untuk memastikan nilai rupiah tetap sejalan dengan fundamentalnya.

BI tetap akan melakukan intervensi di pasar spot dan pasar valas berjangka atau domestik NDF.

“Kami juga akan menjaga likuiditas pada tingkat yang memadai dan memastikan mekanisme pasar berjalan,” ujar dia.

Dody meyakini mata uang Tiongkok tidak akan terus melemah. Pasalnya, pelemahan Yuan yang semakin dalam akan berdampak negatif pada permintaan domestik negara tersebut.

“Negara-negara perlu juga untuk memberikan topangan pada permintaan domestik, risiko curency war (perang mata uang) tidak besar, terlebih di tengah permintaan global yang memang sedang melemah,” ujar Dody.

Dugaan devaluasi Yuan sebelumnya sudah dibantah Bank Sentral China, People’s Bank of China (PBoC).

Mereka menyebut volatilitas nilai tukar yuan secara drastis beberapa waktu belakangan merupakan reaksi pasar menanggapi rencana kenaikan tarif impor yang digaungkan Amerika Serikat (AS).

Komentar Beijing ini merespons tuduhan manipulasi mata uang yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump kepada Tiongkok, setelah mata uang Tiongkok bergerak di 6,9 hingga tujuh Yuan per USD dalam satu pekan terakhir.

Adapun Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun posisi Indonesia selalu defisit karena serbuan barang impor konsumsi dari Tiongkok.

Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengalami defisit perdagangan terhadap Tiongkok hingga USD8,48 miliar pada periode Januari-Mei 2019. Angka itu meningkat dari defisit Januari-Mei 2018 yang sebesar USD8,11 miliar. (ant/indopos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: