Swastanisasi

Oleh: Devi Alamsyah.
MEMBACA berita turunnya pendapatan asli daerah (PAD) di Balikpapan, jadi ingat dialognya si Pulan, tempo hari. Begini nih:
"Pemerintah enggak tenanan ngurusi duit. Jadi, mending diprivatisasi saja," kata Pulan. Campuran bahasa Jawa dengan logat Madura.
Saat itu, lagi ramai-ramainya diskusi soal isu privatisasi atau swastanisasi BUMN. Bahkan, Pulan punya pemikiran begini: semua yang berbau pencarian pendapatan atau bisnis yang berkaitan dengan aset pemerintah semuanya bisa dikelola oleh swasta.
Kenapa demikian? Bukannya justru sektor strategis harusnya dikelola oleh negara?
"Iya, tapi faktanya terkadang pemerintahnya yang tak serius soal untung rugi. Mau rugi, target tak tercapai, tetap bergaji. Beda dengan swasta. Target tak tercapai, tidak untung, bisa gulung tikar," jelas Pulan.
Tentang seberapa besar keuntungan pemerintah antara dikelola sendiri dengan diswastakan? Bisa didesain. Artinya, kata dia, pemerintah harus tetap digdaya, apakah nanti teknisnya dikelola swasta sebagai pekerja pemerintah atau pegawai pemerintah yang sekarang disebut ASN itu. Nah, mana yang efektif.
Ada benarnya juga pendapat si Pulan ini. Bukan berarti mendukung privatisasi atau swastanisasi, tapi bagaimana mindset aparatur sipil negara (ASN) bisa seperti pelaku bisnis swasta. Jika tak serius, ya enggak makan.
Diskusi tadi bisa jadi kontekstual dengan turunnya pendapatan asli daerah (PAD) Balikpapan. Pada pekan lalu, rapat paripurna DPRD Balikpapan menetapkan rencana penurunan PAD dalam rancangan APBD Perubahan hingga 3 persen lebih. Utamanya dari sektor pajak dan retribusi daerah yang dikelola pemerintah daerah.
Memang banyak faktor yang memengaruhi, antara lain soal kondisi. Diberitakan salah satunya terkait beroperasinya Bandara APT Pranoto di Samarinda, sehingga pendapatan retribusi parkir dari Bandara SAMS Sepinggan berkurang. Itu merembet juga ke sektor perhotelan. Yang transit di Balikpapan juga berkurang.
Pengaruh lainnya, disebutkan juga dari harga tiket yang belum juga turun, sehingga berpengaruh pada jumlah kunjungan ke Balikpapan.
Jika dilihat, soal harga tiket ini masih bisa diperdebatkan. Karena seberapa besar sih pengunjung yang datang ke kota minyak ini hanya sekadar melancong atau untuk berwisata. Mayoritas karena urusan kerjaan. Kalau soal ini, harga tiket masih bisa dikesampingkan. Apalagi jika pekerjaan itu bernilai besar.
Tapi ada yang menarik. Soal pajak bumi dan bangunan (PBB). Dalam catatan Pemkot Balikpapan ada yang nunggak dari tahun 1993. Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (BP2DRD) Haemusri Umar menyebutkan terdapat piutang sebesar Rp 238 miliar dari sektor perumahan.
Bagaimana ceritanya. Di satu sisi butuh mengejar target PAD, tapi disisi lain membiarkan terjadi penunggakan. Pihak BP2DRD pun masih menelusuri atas piutang tersebut.
Dari data realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah hingga 16 Juli 2019, ibarat rapor anak sekolah yang hampir terbakar. Warnanya dominan merah. Dan realisasinya banyak yang di bawah 50 persen. Apakah mungkin targetnya yang ketinggian ya.
Nah, sebelum mengejar potensi-potensi lain, potensi baru, lebih baik potensi yang seharusnya ada dalam genggaman diseriusi. Mari kita bahas satu item saja dulu, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Tercatat realisasinya baru 12 persen. Dari target Juli Rp 84 miliar, baru terealisasi Rp 17 miliar. Masih jauh angkanya. Belum lagi untuk ngejar target setahun yang dipatok di angka Rp 145 miliar.
PBB berbeda dengan retribusi parkir yang mengandalkan pengunjung. PBB tidak. Rumah dan bangunan tidak bergeser. Hanya mungkin perubahan kepemilikan. Justru harusnya makin bertambah. Karena pertumbuhan rumah di kota ini terus berkembang.
Belum lagi jika dihitung dari jenis bangunannya. Mungkin banyak perubahan. Yang tadinya semi permanen, jadi permanen. Yang tadinya satu lantai, jadi dua lantai. Tentu, jika ada tarif sendiri soal spesifikasi bangunan tersebut, harusnya PBB setiap tahun bisa tumbuh.
Baiklah, kita lokalisasi ke soal tunggakan pajak. Berarti ini terkait pemantauan hingga penagihan. Apakah pemkot sudah punya tim penagih khusus? Atau hanya mengandalkan ketua RT dan kesadaran masyarakatnya saja.
Setahu saya, dulu di Dispenda ada yang namanya biaya upah pungut. Sejumlah dana yang disisihkan untuk petugas penagih pajak atau retribusi. Apakah petugas itu masih ada? Apakah sistem upah pungut ini masih berjalan?
Ini juga perlu dibedah. Apakah betul kesadaran masyarakat yang kurang, atau karena faktor lain; misalnya lupa karena tagihannya hanya setahun sekali, atau mengangap remeh. Dendanya tak seberapa. Hanya 2 persen dari nilai PBB.
Atau bisa jadi karena fasilitas pelayanan yang kurang mendukung. Harus antre panjang, sulitnya parkir di kantor Dispenda Balikpapan, sistem pelayanan yang bermitra dengan bank juga sering error. Apalagi pas dekat-dekatnya jatuh tempo.
Satu lagi. Apakah sosialisasi informasi kewajiban bayar pajaknya sudah gencar dilakukan. Tentunya upaya-upaya itu jika dilakukan sedikit banyak akan berpengaruh pada hasil akhir, tercapainya target pembayaran pajak.
Terkait sistem pembayaran itu, tentu ke depan harus lebih kreatif dan agresif lagi. Misalnya dengan membuat aplikasi khusus atau paling mudah bekerjasama dengan perbankan yang sudah baik sistem pembayaran secara mobile. Tidak hanya sebatas dengan BPD.
Tentu jika ingin mendapat pelayanan yang sama, pihak bank juga akan dapat manfaatnya, setidaknya dari biaya administrasi untuk transaksi menggunakan layanan mereka. Memang sedikit lebih tinggi. Tapi tak seberapa. Ibarat kita menggunakan jasa transfer antar bank, paling potongannya berkisar Rp 5.000 - Rp 10.000.
Yang terpenting bisa memberikan pilihan-pilihan pada sistem pembayaran. Nanti masyarakat sendiri yang memilih. Pemerintah hanya menyediakan layanan-layanannya saja.
Jika hal itu dilakukan, saya yakin seyakin-yakinnya, akan meminimalisasi tunggakan pajak.
Selain soal pelayanan, tentu sanksi juga harus diberlakukan. Biar ada perhatian dari masyarakat wajib pajak tersebut.
Nah, kalau hal itu juga belum bisa berjalan, apakah perlu kita mengadopsi wacana si Pulan dengan melakukan swastanisasi. Pemungutan PBB yang kelola perusahaan swasta...
Tapi, apakah itu nantinya tidak bertentangan dengan GBHN ya... Bagaimana dengan Anda ?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: