Bankaltimtara

MK Dinilai Melanggar Konstitusi dalam Putusan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

MK Dinilai Melanggar Konstitusi dalam Putusan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai tidak konsisten serta melanggar konstitusi.-(Foto/ Dok. MK)-

JAKARTA, NOMORSATUKALTIM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai 2029 terus menuai kritik. 

Anggota DPR RI Supriyanto menilai langkah MK tersebut tidak sejalan dengan konstitusi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem demokrasi Indonesia.

"Pemilu seharusnya digelar setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Kalau dipisah dan jaraknya 2,5 tahun, ini jelas tidak sesuai konstitusional," tegas Supriyanto, dikutip Antara, Senin, 7 Juli 2025.

Menurut Supriyanto, rentang waktu antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah yang diatur MK, yakni 2 hingga 2,5 tahun, berpotensi merusak siklus 5 tahunan yang dijamin dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

BACA JUGA: Tito Masih Enggan Bocorkan Sikap Pemerintah soal Pemisahan Pemilu: Nanti Ditulis Lain

BACA JUGA: Hamas Sambut Putusan MK soal Pemisahan Pemilu, Ingatkan Potensi Ketimpangan Politik

Ia menegaskan bahwa siklus pemilihan untuk DPRD tak lagi konsisten jika diselenggarakan di luar rentang waktu lima tahun. 

Hal ini, lanjut Supriyanto, mencederai prinsip dasar pemilu yang selama ini dijadikan pedoman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Lebih lanjut, politisi yang juga anggota parlemen itu menyebut bahwa MK telah masuk ke ranah open legal policy. 

Artinya, MK melanggar wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah.

BACA JUGA: Tok! MK Resmi Pisahkan Pileg dan Pilpres dengan Pileg Daerah dan Pilkada, Ini Alasannya

BACA JUGA: Pemerintah dan DPR Tak Kunjung Sepakat, RUU Perampasan Aset Menggantung 17 Tahun

"MK bukan pembuat undang-undang. Tugas pokok MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menambahkan norma baru dalam perundang-undangan," ujarnya.

Ia juga menyinggung inkonsistensi sikap MK. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait