Bankaltimtara

Buah dalam Asap: Ketika Bahasa Melunakkan Bahaya Rokok

Buah dalam Asap: Ketika Bahasa Melunakkan Bahaya Rokok

Syamsul Rijal.-istimewa-

Fenomena merek buah ini dapat dibaca sebagai bentuk ideologi komodifikasi bahasa, yakni ketika kata-kata dipakai untuk mengaburkan relasi antara produk dan dampaknya. Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari pasar, bukan dari akal sehat.

Ketika sesuatu yang berbahaya diberi nama manis, publik secara perlahan kehilangan kepekaan kritis. Kita melihat bagaimana bahasa dapat memengaruhi persepsi sosial.

Kata “buah” memberi sinyal positif, mengingatkan pada alam, kesehatan, dan keindahan. Dalam konteks pemasaran, sinyal itu dimanfaatkan untuk membangun citra palsu tentang “rokok yang lebih lembut”.

Di sini, bahasa tidak lagi sekadar alat ekspresi, tetapi sebagai alat kekuasaan simbolik. Ia menata cara berpikir masyarakat agar bahaya terasa normal.

Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana regulasi pengendalian tembakau di Indonesia masih terbatas pada aspek visual dan teknis. Pemerintah memang telah mengatur gambar peringatan kesehatan pada pembungkus rokok, tetapi belum banyak memperhatikan dimensi simbolik bahasa dan penamaan produk. 

Padahal, di ruang simbol inilah permainan makna berlangsung paling halus dan efektif.

Menutup Asap, Membuka Kesadaran

Persoalan rokok sesungguhnya bukan hanya soal nikotin, tetapi juga soal narasi. Bahasa memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana masyarakat memahami bahaya. Ketika kata yang identik dengan kesehatan digunakan untuk membungkus produk beracun, maka makna sehat itu sendiri menjadi kabur.

Kritik terhadap fenomena ini bukan berarti melarang kreativitas industri, tetapi mengingatkan bahwa setiap kata membawa tanggung jawab moral. Bahasa yang menipu akan melahirkan kesadaran palsu. Masyarakat perlu lebih waspada terhadap cara pasar menggunakan kata untuk mengatur perasaan dan persepsi.

Buah dalam merek rokok mungkin tampak sepele, tetapi ia adalah simbol bagaimana bahasa bisa disulap menjadi alat persuasi. Selama kita masih menilai sesuatu dari namanya, bukan dari substansinya, maka asap akan terus hadir dalam kemasan yang tampak manis.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: