Bankaltimtara

Melacak Jejak Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo: Dari Ekspedisi Kolonial Hingga Ingatan Kolektif

Melacak Jejak Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo: Dari Ekspedisi Kolonial Hingga Ingatan Kolektif

Sampul buku di Pedalam Borneo versi terjemahan Bahasa Indonesia.-(Foto/ Dok. Pribadi)-

Menurut catatan Hendrik Freerk Tillema seorang apoteker, fotografer dan pembuat film asal negara kincir angin yakni Belanda, yang dikutip oleh Chai Siswandi dalam bukunya berjudul “Dari Republik Samarinda Sampai Tempayan Kalimantan”. 

Ia melakukan perjalanan mengarungi jeram di Long Pahangai pada tahun 1931, ia bercerita bahwa di Long Pahangai para pedagang asal Cina melakukan hubungan dagang dengan orang-orang Dayak. Para pedagang Cina itu mendirikan perkemahan di bekas pos militer yang pernah didirikan di situ. 

BACA JUGA: Membuat Grup WA RT Tanpa Persetujuan Anggota dan Mengunggah Konten Pribadi

Pedagang tersebut melakukan jual-beli bagian tubuh badak. Katanya setiap bagian tubuh badak bernilai seperti cula, kuku, kulit, dan kotorannya. Para pedagang Cina memotong kulit badak hingga berbentuk seperti mawar lalu direbus dan dibuat sajian sup. Dari cula dan kuku badak inilah diracak menjadi obat-obatan untuk merangsang birahi pria.

Ia juga menjelaskan bahwa orang-orang Dayak melakukan perburuan terhadap Badak menggunakan senapan ringan. Orang-orang Dayak menembak badak di antara tulang belikat karena kulit di bagian tersebut lebih tipis. 

Seandainya badak tidak mati ditembak oleh senapan ringan, maka orang-orang Dayak akan mengejarnya menggunakan sumpit dan tombak hingga berminggu-minggu di dalam hutan.

Sayangnya keberadaan badak di Mahakam Ulu saat ini menghadapi kepunahan. Saat ini Badak Kalimantan dengan nama latin (Dicerorhinus sumatrensi harrisoni) hanya tersisa satu ekor saja. Badak tersebut bernama Pari yang mendiami sekitar hutan lindung di kampung Nyaribungan. 

Habitat Pari saat ini terancam oleh ekspansi salah satu pertambangan batu bara terbesar yang dimiliki oleh salah satu menteri di dalam kabinet Presiden saat ini.

Adapula yang menarik dalam catatan Nieuwenhuis adalah cara orang-orang Dayak Kayan dan Bahau Busang dalam menangani penyakitnya. Selain mereka meminta bantuan pada Dayung (pemimpin spiritual dalam kepercayaan lama) dengan membacakan mantra-mantra. Mereka juga mengenal pantangan (lali) dalam makanan dan beraktivitas ketika jatuh sakit. 

BACA JUGA: Pembangunan Kaltim: Menghubungkan Wilayah, Menumbuhkan Harapan

Contoh semisal ada seseorang dalam kelompok mereka terkena penyakit diare maka orang tersebut diberi pantangan dengan tidak mengonsumsi makanan yang pedas, mandi air dingin, nasi keras, nasi ketan, air gula tebu, dan minum air dingin. 

Hal ini lantas menunjukkan bahwa masyarakat Dayak pada waktu itu telah memiliki pengetahuan yang maju sepadan dengan ilmu kedokteran modern untuk menangani kondisi kesehatan mereka sendiri.

Kebiasaan-kebiasaan orang-orang Dayak di masa lampau kini menghampiri jurang kepunahan kalau tidak ingin dikatakan telah hilang sepenuhnya. 

Hal ini berakar dari putusnya hubungan manusia dan alam, masuknya agama samawi, sistem pendidikan dan kesehatan modern, serta ekspansi berbagai perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan batu bara yang menjarah hutan dan sungai secara membabi-buta. 

Akhir Perjalanan Dr. Nieuwenhuis


Pria Dayak dengan sapi liar hasil buruannya. Foto In Centraal Borneo: Reis van Pontianak naar Samarinda Volume II (hal. LXXXIX)-(Foto/ Istimewa)-  

Selama kurang lebih delapan bulan Nieuwenhuis berada di wilayah Mahakam Ulu dan dirasa berbagai tujuan penelitiannya telah terkumpul. Maka, Nieuwenhuis memutuskan untuk kembali ke Samarinda  bersama rombongan ekspedisinya, ia berangkat dari Long Blu’u pada tanggal 7 Mei 1899 diantar langsung oleh Kwing Irang bersama pasukannya, kemudian tiba di Samarinda pada tanggal 9 Juni 1899. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait