Bankaltimtara

Melacak Jejak Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo: Dari Ekspedisi Kolonial Hingga Ingatan Kolektif

Melacak Jejak Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo: Dari Ekspedisi Kolonial Hingga Ingatan Kolektif

Sampul buku di Pedalam Borneo versi terjemahan Bahasa Indonesia.-(Foto/ Dok. Pribadi)-

Perjalanannya tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. Dimulai pada tahun 1893 hingga 1894 melalui Putussibau, kemudian perjalanan kedua kembali dilakukan pada tahun 1896 hingga 1897, dan perjalanan ketiga tahun 1898 hingga 1900. 

Pada perjalanan ketiga inilah Nieuwenhuis berdiam diri di Boven Mahakam (Mahakam Ulu) pada masa kini, untuk melakukan penelitian mengenai adat-istiadat, kepercayaan, seni, mata pencaharian, teknologi, peralatan, organisasi sosial, flora, dan fauna di wilayah Mahakam Ulu pada waktu itu. 

BACA JUGA: Naiknya Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengaruh Jasa Upah Pungut (Japung)

Kurun akhir abad 19, wilayah Mahakam Ulu masih menjadi wilayah yang tidak terpetakan (terra incognita). Hal ini mengundang berbagai rasa penasaran di pihak kolonial untuk segera memetakan wilayah tersebut, agar dapat dikuasai. Begitu pula yang dirasakan oleh Nieuwenhuis pada saat itu.

Keberhasilan perjalanan yang dilakukan Nieuwenhuis di Mahakam Ulu tidak terlepas dari peranan penting seorang Kepala Suku Kayan Mendalam dari Tanjung Karang bernama Akam Igau. 

Akam memiliki hubungan erat pada Kepala Suku Kayan Mahakam yakni Kwing Irang yang berasal dari Long Blu’u. Maka dari itu, Niewenhuis memanfaatkan hubungan kekerabatan tersebut agar ia bisa dengan aman menyusuri sepanjang Mahakam Ulu.

Selama berada di Mahakam Ulu, Nieuwenhuis menginap di rumah Kwing Irang, yakni pemimpin Suku Kayan dari Long Blu’u. Selain itu, Nieuwenhuis juga mengunjungi perkampungan suku-suku yang ada di Mahakam Ulu seperti Penihing (Aoheng), Long Gla’at, Bahau Busang, dan Bakumpai. Serta bertemu dengan suku lainya seperti  Bukat, Punan, dan Seputan.


Alur pertautan Suku Dayak Apo Kayan Grup.-(Foto/ Nomaden Institue)-

Sepanjang perjalanannya di Mahakam Ulu, ada catatan menarik yang ditulis oleh Nieuwenhuis mengenai kebiasaan merias diri di kalangan Suku Kayan. 

Ia menerangkan bahwa dikalangan Pemuda-Pemudi Kayan ketika mereka menginjak masa Puber, mereka akan menghiasi dirinya dengan rajah, memanjangkan telinga, dan mengikir giginya.

BACA JUGA: Ironi Perayaan Kemerdekaan: Terjepit di Antara Harga Tinggi dan Pajak Mencekik

Selain itu, ditemukan juga kebiasaan unik dikalangan lelaki Kayan untuk membuat peniti di alat kelaminnya. 

Hal ini dilakukan untuk kepuasan dalam hubungan biologis antara suami dan istri. Berikut kutipan yang ditulis oleh Niewenhuis:

“Lelaki Kayan muda menusuk ujung kelaminnya, untuk mengurangi rasa sakit kelamin dijepit menggunakan bambu. Di bambu tersebut biasanya terdapat dua lubang yang di masa dahulu biasanya dimasukkan sepotong bambu, namun sekarang diganti dengan sebatang tembaga. Bambu yang dijepit di alat kelamin akan diambil sementara sepotong bambu yang berada di dua lubang tadi akan dibiarkan hingga kelamin sembuh. Saat waktu-waktu tertentu, ketika lelaki Kayan melakukan perjalanan yang jauh dan membutuhkan tenaga lebih, dimasukkan batang kayu di terusan, atau timah untuk menghindari rasa sakit. Lelaki Kayan yang pemberani akan diberikan hak yang sama seperti Kepala Suku mereka untuk mengenakan cincin pada alat kelamin mereka menggunakan sisik trenggiling yang ujungnya telah mereka tumpulkan.”

Selain peniti kelamin, orang-orang Dayak pada saat itu juga menggunakan Cula Badak yang banyak ditemui di Mahakam Ulu pada saat itu. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait