Komunikasi Tanpa Kekuasaan Itu Dialog, Kekuasaan Tanpa Komunikasi Itu Represif
Rina Juwita, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.-(Foto/ Dok. Pribadi)-
Alih-alih diberi toleransi atau ruang dialog, petugas justru menjawab dengan nada tinggi mengutip aturan tanpa empati.
Video itu disaksikan jutaan orang, dan komentar publik pun membanjiri: “Apakah semua harus diukur dengan aturan kaku, tanpa hati?’ Kisah itu mungkin berlalu, tapi Kesan komunikasi dingin dari apparat tetap melekat.
Dan tentu masih segar dalam ingatan publik soal seorang remaja perempuan yang sempat viral karena merasa dibentak dan dipermalukan oleh seorang petugas saat membuat laporan kehilangan motor di Polsek.
Video pengakuannya di TikTok mengundang simpati luas, bahkan sempat trending di X (Twitter). Ia berkata, “Saya cuma ingin laporan, bukan dimarahi. Saya sudah kehilangan motor, jangan sampai kehilangan harga diri juga.” Meski akhirnya klarifikasi dilakukan, netizen sudah terlanjut merasa: komunikasi aparat kadang lebih menyakitkan daripada kehilangan itu sendiri.
Komunikasi dalam kekuasaan semestinya menjembati, bukan mengisolasi. Ia bukan sekedar jumpa pers atau unggahan Instagram institusional.
Komunikasi publik yang sejati mendengar lebih dulu, baru bicara. Karena rakyat hari ini bukan lagi sekadar pendengar. Mereka penanya, pengingat, sekaligus pengawas.
Sayangnya, masih banyak warga yang takut melapor karena khawatir dipersulit. Tak sedikit yang merasa lebih aman diam daripada bicara.
Inilah represi yang lahir bukan dari kekerasan, tapi dari komunikasi yang dingin, kaku, dan menyendiri. Hal ini diperparah oleh ketimpangan digital dan ketidakpastian respons terhadap aduan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa Polri harus menjadi “institusi yang dicintai masyarakat”. Salah satunya lewat transformasi komunikasi berbasis Presisi -prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan.
Tapi jargon belum cukup. Ia perlu dijadikan laku.
Beberapa negara telah melangkah lebih jauh. Di Norwegia, polisi wajib melakukan pertamuan rutin dengan warga lingkungan untuk mendengarkan keluhan. Di Jepang, pos polisi kecil (korban) menjadi ruang dialog informal yang dipercaya publik. Bukan karena perlengkapan mereka lebih canggih, tapi karena komunikasi mereka lebih manusiawi.
Di Indonesia, sudah ada upaya reformasi komunikasi Polri. Beberapa akun media sosial resmi mencoba membangun kedekatan, bahkan menggandeng influencer. Tapi itu baru awal. Yang dibutuhkan lebih dari sekedar narasi promosi.
Kita perlu pembenahan menyeluruh dalam pelatihan komunikasi internal: agar setiap anggota Polri memahami bahwa mendengar bisa lebih kuat dari perintah.
Modul listening and community engagement sudah semestinya menjadi bagian dari pelatihan dasar Bintara dan Perwira.
Forum aduan digital harus direspons bukan hanya oleh sistem, tapi oleh empati. Polisi yang baik tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga hubungan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
