Bankaltimtara

Pilkada, Pandemi, dan Pengalaman Negara Lain (2)

Pilkada, Pandemi, dan Pengalaman Negara Lain (2)

Pelaksanaan pilkada di masa pandemi COVID-19 menyimpan banyak persoalan yang harus dijawab. Keseluruhan persoalan itu adalah sesuatu yang sifatnya predictable atau bisa kita prediksi jauh-jauh hari. Dengan demikian, antisipasi harus dipersiapkan sedari sekarang. Agar pilkada kita memiliki imunitas yang cukup terhadap berbagai macam pelanggaran.

Secara sederhana, potensi kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada di masa pandemi dapat kita jabarkan sebagai berikut: pertama, pragmatisme politik. Di tengah kondisi ekonomi yang menurun akibat pandemi COVID-19, maka ruang tumbuh suburnya pragmatisme terbuka lebar. Benih politik uang akan menjalar di mana-mana dan akan beranak pinak dalam jiwa manusia yang kotor. Para penumpang gelap (free rider) akan banyak memanfaatkan situasi ini untuk memenangkan kompetisi secara tidak sehat. Logiknya, tidak akan ada demokrasi yang jujur, adil, dan bermartabat, jika masalah-masalah ekonomi masyarakat belum terselesaikan atau setidak-tidaknya dapat diminimalisasi terlebih dahulu. Sebab sistem demokrasi liberal yang kita anut sekarang hanya mampu menjamin hak politik warga negara. Tetapi cenderung abai dengan hak ekonomi yang mestinya berjalan secara pararel.

Kedua, ancaman keselamatan warga negara. Pelaksanaan pilkada di masa pandemi COVID-19 menghadirkan ancaman terhadap hak hidup bagi warga negara. Yang telah dijamin oleh konstitusi. Pasal 28A UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Ini belum termasuk pengaturan operasional atas hak untuk hidup serta perlindungan kesehatan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Intinya, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19 jangan sampai mengancam keselamatan jiwa warga negara. Karena itu, manajemen pilkada serentak ini harus benar-benar diarahkan untuk memenuhi protokol standar keselamatan jiwa manusia. Sebab prinsipnya, pilkada untuk kepentingan manusia. Bukan sebaliknya.

Ketiga, mengancam hak pilih warga negara. Sepanjang belum ada jaminan keselamatan bagi setiap warga negara dalam proses pelaksanaan pilkada serentak, maka masyarakat kemungkinan akan memilih menahan penyaluran hak pilihnya dibanding harus menanggung risiko terpapar COVID-19. Ini salah satu pertanyaan yang cukup mengemuka ketika pilkada diputuskan untuk tetap digelar kendati pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai.

Angka partisipasi pemilih sebesar 77,5 persen yang ditargetkan oleh KPU rasanya masih terlampau tinggi jika dilihat situasi dan kondisi pandemi hari ini. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman negara-negara lain, meski tidak semua, mayoritas negara yang menggelar pilkada di masa pandemi COVID-19 mengalami penurunan tingkat partisipasi pemilih. Warga negara yang memilih tidak menyalurkan hak pilihnya tidak boleh dibebankan kesalahan. Ketiadaan kepastian rasa aman serta absennya jaminan perlindungan kesehatanlah yang membuat pemilih ragu untuk menggunakan hak pilihnya. Ini tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah. Terutama menyangkut cara untuk mengendalikan pandemi COVID-19.

Keempat, menguntungkan petahana. Memang hak ini bersifat limitatif. Sebab hanya terbatas pada kandidasi dalam pilkada. Namun hal ini turut menjadi penentu seberapa baik kualitas pilkada kita. Pandemi COVID-19 ini melahirkan ketidakseimbangan di antara para kandidat. Padahal semestinya setiap kandidat mempunyai ruang dan kesempatan yang sama. Ada beberapa hal krusial yang menguntungkan petahana. Namun justru merugikan kandidat lain.

Pertama, petahana memiliki kewenangan dan program yang berpotensi diarahkan untuk kepentingan pribadinya. Baik untuk membangun citra politiknya maupun sebagai sarana untuk mengumpulkan pembiayaan politiknya. Kedua, petahana memiliki ruang komunikasi politik yang cukup dengan masyarakat. Ini yang tidak dimiliki oleh kandidat lain. Kalaupun tersedia, ruangnya sempit dan sangat terbatas. Dalam beberapa kasus, justru banyak petahana yang melanggar protokol kesehatan dengan menciptakan kerumunan di kediamannya. Ketiga, elektabilitas petahana cenderung konstan. Sementara kandidat terseok-seok membangun citra akibat situasi yang serba terbatas di masa pandemi. Bahkan kampanye pun akan dibatasi. Baik bentuk maupun ruang interaksinya.

Kelima, politisasi bansos penanganan COVID-19. Ini kekhawatiran yang beralasan. Mengingat pejabat di daerah, khususnya petahana, memiliki keseluruhan perangkat yang memungkinkannya untuk menyalahgunakan kewenangan, program dan kegiatan lainnya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

Larangan bagi petahana untuk menggunakan kewenangan, program, ataupun kegiatan yang menguntungkannya secara tegas sudah diatur dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada), “Gubenur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota, dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih”.

Namun harus kita ingat, bahwa membaca norma itu tidak hanya sekedar letterlijk semata. Tetapi mesti dengan kerangka penafsiran yang kuat dan memadai. Pertama, jika kita menggunakan “penafsiran historis” terhadap pasal tersebut, maka norma larangan (verbod) dalam ketentuan ini jelas merujuk kepada petahana sebagai subjek hukum. Terlepas di kemudian hari petahana ditetapkan sebagai pasangan calon atau tidak. Pasal 71 ayat (3) sebelum perubahan secara eksplisit menyebutkan, “Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir”.

Kedua, jika kita menggunakan “penafsiran sistematis dan logis”, maka pasal tersebut harus dibaca utuh. Bukan hanya sekadar frase pasangan calonnya. Misalnya dengan membaca frase “dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon”. Ini jelas menunjukkan waktu (tempus) keberlakuan norma. Yang berarti tidak harus didahului dengan penetapan pasangan calon oleh KPU. Untuk dikategorikan memenuhi unsur atau tidak. (*Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: