Penerapan Retribusi Sampah kepada Masyarakat Dikritik, Ini Jawaban DLHK Kukar
Pasukan merah-putih saat mengambil sampah di Tenggarong.-Ari/Disway Kaltim-
KUKAR, NOMORSATUKALTIM — Anggota DPRD Kaltim dapil Kukar Muhammad Husni Fahruddin mengkritisi penerapan retribusi sampah, yang diterbitkan oleh Pemkab Kukar.
Seperti diketahui, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kutai Kartanegara (DLHK Kukar) mengeluarkan surat edaran nomor P.0835/DLHK/Bid.2/600.4.1.2/09/2025 tentang pungutan retribusi jasa umum pada layanan persampahan atau kebersihan.
Aturan ini mulai diberlakukan sejak September 2025. Kebijakan ini mengacu pada Perda Kukar nomor 1 tahun 2024 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Rincian tarif dalam perda tersebut memuat besaran pungutan untuk berbagai kategori, mulai dari instansi pemerintah, fasilitas publik, usaha komersial hingga rumah tangga kecil yang menjadi wajib retribusi.
Nah, menurut Ayub, retribusi ini justru merugikan masyarakat kecil. Ia menyorot tarif yang tercantum dalam Lampiran I perda, terutama pada kategori wajib retribusi komersial dan nonkomersial yang melibatkan pelaku usaha kecil dan rumah tangga kecil.
“Jika kita lihat secara rinci, rumah makan sangat kecil dikenakan tarif sepuluh ribu rupiah per bulan, usaha jasa sangat kecil sepuluh ribu rupiah, pedagang pasar dan kios dikenakan lima belas ribu rupiah, bengkel motor kecil dua puluh lima ribu, dan pedagang kaki lima dibebani seribu hingga seribu lima ratus rupiah per hari,” ujarnya saat dihubungi,pada Minggu 23 November 2025.
Ayub menjelaskan bahwa beban serupa juga berlaku bagi kategori nonkomersial. Seperti rumah tangga besar sepuluh ribu rupiah, rumah tangga sedang tujuh ribu lima ratus rupiah, dan rumah tangga kecil lima ribu rupiah per bulan.
Tarif berlaku pula bagi kantor swasta kecil sebesar lima puluh ribu rupiah per bulan, serta pungutan empat ribu lima ratus rupiah per kubik untuk pembuangan ke TPA menggunakan kendaraan sendiri.
Menurutnya, kebijakan tersebut patut dievaluasi karena menyangkut beban yang harus ditanggung masyarakat kecil di tengah tekanan ekonomi.
Ia menilai kelompok rumah tangga kecil, pedagang kecil, dan usaha mikro berada pada posisi yang paling rawan terdampak.
“Apakah layak pemerintah membebankan retribusi sampah pada rumah tangga kecil yang hidupnya serba terbatas? Ini perlu dipertimbangkan dengan hati dan empati, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit,” tegasnya.
Meski demikian, ia menguraikan bahwa secara prinsip, retribusi sampah dapat dianggap layak jika berdasarkan konsep polluter pays.
Atau pencemar membayar, yang selama ini menjadi dasar pengelolaan sampah berkelanjutan.
“Retribusi sampah bisa menjadi instrumen yang baik jika tujuannya memastikan pendanaan layanan kebersihan tetap stabil, meningkatkan kesadaran masyarakat, serta mendorong keadilan antar wilayah dalam membiayai beban persampahan,” jelas Ayub.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
