Bankaltimtara

Peneliti Korsel Temukan Kaitan antara Vaksin COVID-19 dengan Risiko Kelumpuhan Wajah

Peneliti Korsel Temukan Kaitan antara Vaksin COVID-19 dengan Risiko Kelumpuhan Wajah

Peneliti Korea Selatan menemukan kaitan antara kelumpuhan wajah dengan vaksin Covid-19.-(Ilustrasi/ Istimewa)-

JAKARTA, NOMORSATUKALTIM - Sebuah studi berskala besar yang dilakukan di Korea Selatan (Korsel) mengungkap adanya peningkatan risiko kelumpuhan wajah atau facial palsy dalam 28 hari setelah seseorang menerima vaksin COVID-19. 

Temuan ini memicu perhatian kalangan medis agar lebih waspada terhadap gejala neurologis pasca-vaksinasi.

Facial palsy, yang juga dikenal sebagai Bell’s palsy, merupakan kondisi kelumpuhan sementara pada otot-otot wajah yang menyebabkan wajah tampak menurun di satu sisi. 

Gejala ini dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengekspresikan emosi atau melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan dan berbicara.

BACA JUGA: Meski Nihil Kasus COVID-19, Dinkes Berau Tetap Imbau Masyarakat Terapkan PHBS

BACA JUGA: Tingkatkan Kewaspadaan Dini, Warga Kukar Diminta Tak Lengah Terhadap COVID-19

Meski uji klinis awal vaksin COVID-19 tidak menunjukkan kekhawatiran besar terkait efek samping serius, laporan peningkatan kasus facial palsy pasca-vaksinasi mendorong peneliti untuk melakukan kajian lebih dalam. 

Dilansir dari Medical Daily, penelitian tersebut menganalisis data dari lebih dari 44 juta pasien yang terdaftar dalam basis data kesehatan nasional Korsel.

Para peneliti mencatat adanya 5.211 kasus kelumpuhan wajah dalam 1 hingga 28 hari setelah vaksinasi, dibandingkan dengan 10.531 kasus yang terjadi dalam sisa periode observasi selama 240 hari. 

Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan risiko sebesar 12 persen dalam kurun waktu 28 hari pasca-vaksinasi.

BACA JUGA: COVID-19 Masuk Indonesia Lagi, Dinkes Kaltim: Jangan Panik

BACA JUGA: Situs Covid Diganti oleh Gedung Putih dengan Teori Kebocoran Lab Wuhan

“Risiko Facial Palsy (FP) meningkat dalam 28 hari setelah vaksinasi, terutama setelah dosis pertama dan kedua, dan terjadi pada vaksin mRNA maupun vektor virus," tulis tim peneliti dalam siaran persnya.

Lebih lanjut, studi tersebut juga menemukan bahwa dosis kedua menunjukkan peningkatan risiko sebesar 7 persen.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait