Kontribusi Manufaktur Belum Pulih ke Level Prapandemi, Disebabkan Deindustrialisasi dan Lemahnya Permintaan
Kontribusi Manufaktur Belum Pulih ke Level Prapandemi, Disebabkan Deindustrialisasi dan Lemahnya Permintaan.-istimewa-
JAKARTA, NOMORSATUKALTIM - Kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal III/2025 masih belum kembali ke level prapandemi.
Sejumlah faktor seperti pelemahan permintaan global, tingginya biaya produksi, serta gejala deindustrialisasi dini disebut menjadi penyebab utamanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III/2025 tercatat sebesar 5,04 persen year on year (yoy), sedikit melambat dibandingkan kuartal II/2025 yang tumbuh 5,12 persen (yoy).
Dari sisi lapangan usaha, industri pengolahan masih menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan kontribusi 19,15 persen dan pertumbuhan tahunan 5,54 persen (yoy).
BACA JUGA:Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Melambat, BI Dorong Diversifikasi di Luar Tambang
Namun, dominasi sektor manufaktur tersebut belum cukup mengangkat kontribusinya hingga menembus 20 persen seperti periode sebelum pandemi.
Berdasarkan catatan, terakhir kali porsi manufaktur mencapai level itu terjadi pada kuartal III/2016 sebesar 20,10 persen, dan kembali mendekati angka tersebut pada kuartal I/2019 di posisi 20,07 persen.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, lemahnya kontribusi manufaktur disebabkan oleh berbagai tekanan struktural dan eksternal. Salah satunya, permintaan global yang belum stabil pasca-pandemi, ditambah tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga energi dan bahan baku.
“Selain itu, fenomena deindustrialisasi dini juga berperan, di mana pertumbuhan sektor manufaktur melambat sebelum benar-benar mencapai potensi maksimalnya. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja di sektor ini belum tumbuh secepat yang diharapkan,” jelas Yusuf.
BACA JUGA:Ekonomi Berbasis Komunitas Menguat, Balikpapan Fest 2025 Tampilkan 2.700 Talenta Lokal
Menurutnya, reformasi struktural dan kebijakan deregulasi yang digalakkan pemerintah berpotensi besar untuk memperbaiki situasi tersebut, asalkan implementasinya dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
“Deregulasi tidak boleh berhenti pada tataran aturan semata, tapi juga harus diikuti kemudahan berusaha yang nyata di lapangan, perbaikan iklim investasi, serta kepastian hukum,” tegasnya.
Yusuf menambahkan, pemerintah tidak bisa hanya berfokus pada hilirisasi industri manufaktur, melainkan juga harus memperkuat sektor-sektor pendukung seperti logistik, energi, dan pendidikan vokasi.
Langkah ini penting agar rantai pasok industri menjadi lebih efisien dan daya saing tenaga kerja meningkat.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
