"Penanganan di Mahulu waktu itu sulit akses jalannya, akibatnya terhambat pengiriman bantuan. Ini yang jadi perhatian kami agar Pemprov bisa segera memperbaiki akses," imbuhnya.
BACA JUGA:Deforestasi Kaltim Hampir Setara Gabungan 3 Provinsi yang Dilanda Bencana Banjir di Sumatera
Dalam konteks pengurangan risiko, Sugeng menjelaskan bahwa intervensi dilakukan melalui dua pendekatan: struktural dan non-struktural.
Aspek struktural mencakup penyusunan regulasi, pembentukan kelembagaan, hingga pembangunan fisik seperti penanaman pohon, penguatan tebing, atau pemasangan batu penahan erosi.
Langkah-langkah tersebut krusial karena kerusakan lingkungan umumnya dipicu aktivitas manusia.
Sugeng menyinggung pengalaman bencana besar seperti gempa dan tsunami Palu 2018. Balikpapan menjadi salah satu posko darurat bagi pengungsi. Hampir seluruh infrastruktur rusak sehingga koordinasi terhambat.
"Waktu di Palu, listrik padam total, komunikasi lumpuh, dan akses ke lokasi-lokasi terdampak terputus. Informasi datang terlambat dan situasi berubah terus," ungkapnya.
Dalam kondisi itu, tim tidak bisa menunggu instruksi. Respons cepat dan improvisasi mutlak diperlukan.
Setelah tanggap darurat selesai, BPBD memasuki masa pemulihan: pembersihan lingkungan, perbaikan akses, pendataan kerusakan oleh Tim jitu pasca bencana, hingga trauma healing.
"Setelah tanggap darurat, tahap pemulihan itu penting. Mulai dari memulihkan akses, mendata kerusakan, sampai mendukung warga agar aktivitas mereka bisa normal kembali," tuturnya.
BACA JUGA: Ancaman Bencana Mengintai Balikpapan, Pemkot Perketat Pengawasan Daerah Rawan, di Sini Titiknya
Jika melihat daerah, Sugeng menyebut contoh lokasi rawan di Samarinda antara lain Sempaja , Jalan Panjaitan, Mugirejo, Lempake, Pemuda, hingga Griya Mukti. Posko utama banjir berada di Jalan Panjaitan dekat Kantor Dinas Perdagangan.
"Semua jalur evakuasi, titik kumpul, pos lapangan, hingga lokasi dapur umum sudah dipetakan," katanya.
Sugeng menegaskan bahwa penanggulangan bencana tidak efektif bila hanya ditopang satu pihak. Lima unsur harus bergerak bersama: pemerintah, perusahaan, relawan, media, dan akademisi.
"Pemerintah itu satu unsur, baik pusat, provinsi, sampai kabupaten/kota. Lalu perusahaan juga punya peran besar. Relawan itu membersamai langsung masyarakat, media sebagai pendistribusi informasi, dan akademisi yang terbiasa menyusun kajian. Kalau semua elemen itu bergerak bersama, mitigasi kita jauh lebih siap," katanya.