KUTAI TIMUR, NOMORSATUKALTIM - Kawasan Patung Singa di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), berubah menjadi panggung perjuangan ketika puluhan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Kutim turun ke jalan dan melakukan mimbar bebas bertajuk “Menolak Lupa”.
Dengan berdiri tegak mereka menyuarakan kegelisahan hati atas masih banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum menemukan penyelesaian.
Aksi ini bukan menjadi ajang orasi, melainkan ruang refleksi, solidaritas serta penegasan bahwa ingatan atas tragedi kelam bangsa tidak boleh hilang di telan waktu.
Para mahasiswa menilai negara seolah-olah membiarkan kasus-kasus besar yang mencoreng perjalanan bangsa tanpa memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban maupun keadilan bagi keluarga korban.
BACA JUGA: ISPA Hantui Anak-Anak di Kutim, Dokter Ingatkan Hal Ini
Ketua BEM Stiper Kutim, Gideon Sampeluna, menjelaskan bahwa bulan September ini menjadi bulan kelam bagi bangsa Indonesia di mana beberapa peristiwa tragis terjadi di bulan ini yang masih membekas.
“September hitam memperingati tragedi tahun 1965, peristiwa tanjung priok 1984, hingga peristiwa semanggi II, Kalang sari, Trisakti hingga pembunuhan Munir dan beberapa kasus-kasus yang lainnya menghilang pada saat itu,” ucapnya, Jumat 12 September 2025.
Tak hanya itu, fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa hingga hari ini, pelanggaran HAM terus berulang dan seakan menjadi pola yang dibiarkan.
Selain itu, ia juga menyinggung masalah regulasi hutan adat, ini sangat perlu segera merumuskan undang-undang yang jelas untuk melindungi keberadaan masyarakat adat dan ruang hidupnya.
BACA JUGA:Masih Berproses di Polda, RPU Kutim dapat Tambahan Anggaran Lagi Rp 1,9 Miliar
BACA JUGA:Kencangkan Ikat Pinggang, Pemkot Balikpapan Bakal Hapus Acara Seremonial dan Batasi Perjalanan Dinas
“Undang-undang hutan adat harus segera dibahas dan disahkan, karena urgensinya besar sekali. Banyak sekali wilayah-wilayah hutan adat yang sudah terdeforestasi, alhasil masyarakat adat tersingkirkan. Saat ini tidak ada aturan yang jelas, hanya sebatas regulasi pengakuan tanpa undang-undang yang mengatur mutlak,” jelasnya.
Ia menambahkan, di Kutim terdapat beberapa titik hutan adat yang rawan tergerus eksploitasi.
Tanpa perlindungan hukum yang kuat, masyarakat adat terancam kehilangan haknya.
“Ada beberapa titik hutan adat di kutim ini dan itu penting sekali untuk di jaga. Kalau tidak, masyarakat adat akan terus jadi korban,” tutupnya.