Imbauan KPID DKI Dinilai Berbahaya, Akademisi Unmul: Media Jangan Tunduk pada Penguasa

Minggu 31-08-2025,07:21 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Tri Romadhani

BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM - Imbauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta kepada lembaga penyiaran agar menghindari pemberitaan "provokatif dan eskalatif" dalam liputan aksi yang dinilai berbahaya bagi demokrasi. 

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, menegaskan bahwa kebijakan semacam ini berimplikasi langsung terhadap kebebasan pers, penyempitan ruang publik, sekaligus mencakup kontrol masyarakat terhadap negara.

Tanggapannya itu mengemuka di tengah gelombang aksi resonansi di Jakarta yang sketsa tindakan represif aparat.

Dalam surat bernomor 309/KPID-DKI/VIII/2025 yang diterbitkan pada 28 Agustus 2025, KPID DKI Jakarta meminta lembaga penyiaran tidak menyampaikan liputan unjuk rasa yang mengandung kekerasan secara berlebihan, bersifat provokatif, serta "eskalatif" terhadap kemarahan masyarakat.

BACA JUGA :  AJI Balikpapan Desak KPID DKI Cabut Imbauan, Berpotensi Batasi Kebebasan Pers dan Mereduksi Hak Publik

Lembaga penyiaran juga diminta ikut membangun "nuansa sejuk dan damai" melalui pemberitaan.

Surat tersebut diterbitkan dengan alasan menjaga kondisi agar tetap kondusif menyusul aksi demonstrasi menolak rencana tunjangan rumah bagi anggota DPR RI.

Namun, imbauan ini menuai kritik karena berpotensi mengekang kerja jurnalistik dan membatasi hak publik atas informasi.

Sri Murlianti menegaskan, imbauan KPID DKI jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi.

"Jelas ini membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang seimbang, di sisi lain juga melanggar kebebasan pers. Seharusnya ini tidak boleh terjadi di negara demokrasi," kata perempuan yang akrab disapa Sri, saat diwawancara Nomorsatukaltim, pada Sabtu 30 Agustus 2025.

BACA JUGA : Kondisi Terkini Rumah Ahmad Sahroni, Wali Kota Jakut Pastikan Bukan Ulah Warga Setempat

Ia menyoroti istilah "provokatif dan eskalatif" yang digunakan dalam surat imbauan.

Menurut Sri, penggunaan istilah yang multitafsir justru berpotensi menjadi instrumen penguasa untuk mengontrol media.

"Kalau memang konsep provokasi itu mau digunakan untuk biang kerok kericuhan, para anggota DPR yang kinerjanya buruk dan memainkan uang negara untuk menguntungkan kehidupan pribadinya lalu diikuti dengan pernyataan ngawur nir empati, itulah provokatif yang sesungguhnya," tegasnya.

"Begitu juga tindakan polisi yang menggunakan kendaraan perang untuk melindas rakyat yang sedang mencari makan, itu bahkan tindakan biadap yang sangat memprovokasi kemarahan publik," sambung Sri.

Kategori :