Kembang Kempis Industri Kayu Bumi Etam

Sabtu 23-11-2019,21:31 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Novel Chaniago. (Mubin/Disway Kaltim) Samarinda, DiswayKaltim.com – Di tengah pertumbuhan ekonomi Kaltim sebesar 6,89 persen triwulan III 2019. Industri perkayuan justru sedang lesu. Sebagian pabrik menghentikan produksinya. Kondisi ini sudah berlangsung lima bulan terakhir. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Kaltim Novel Chaniago membenarkan hal itu. Industri perkayuan di Bumi Mulawarman terpukul karena berbagai sebab. Tentu saja berbeda dengan era 1990 sampai 2000. Pada saat industri perkayuan sedang berjaya di Kaltim. Pabrik kayu tumbuh subur. Terdapat belasan perusahaan kayu yang beroperasi. Seiring pula dengan hasil kayu yang melimpah di Kaltim. Tak heran, provinsi ini dikenal sebagai penghasil kayu terbesar di Indonesia. Bahkan Kaltim pernah memonopoli ekspor kayu di mancanegara. Harga ditentukan oleh perusahaan-perusahaan kayu yang berasal dari Kaltim. “Konsumen terbesarnya itu dari Jepang, Amerika, Korea, dan Taiwan,” ungkap Novel kepada Disway Kaltim, Sabtu (23/11/2019) sore. Kini, pabrik kayu berkurang drastis. Tersisa delapan perusahaan. Itu pun ada yang menghentikan produksinya. Ada pula yang mengurangi volume produksinya. Penyebabnya, Jepang, Amerika, dan China mulai mencari pengganti kayu olahan. Harga kayu olahan dinilai terlalu tinggi. Di sisi lain, perang dagang China dan Amerika Serikat yang tak kunjung berakhir membuat permintaan kayu di Kaltim menurun. Akibatnya, ekspor kayu turun drastis. “Sekarang Vietnam dan Kamboja bangkit. Vietnam luar biasa pertumbuhan industri kayunya. Mungkin dari China dan Malaysia itu sudah beralih ke Vietnam. Jadi pesaing kita,” sebutnya. Musabab lainnya, biaya logistik di Kaltim relatif tinggi. Industri kayu beralih ke Jawa. Di Pulau Jawa, industri kayu tumbuh subur. “Di sini pabriknya tutup. Di sana justru tumbuh. Dari apa? Dari hutan tanaman. Kaltim kalah,” jelasnya. Karena itu, ia berpendapat, terdapat beberapa alasan yang membuat industri kayu mengalami kelesuan. Harga yang sedang anjlok, pasar yang sedang terganggu, dan harga bahan baku yang tinggi. “Pengembangan hutan tanaman di Kaltim ini terlambat. Sudah dimulai. Tetapi belum panen. Kalau sudah panen, itu bagus. Tapi sekarang, timpang terus. Begitu goyang di pasar, belum ada pengganti bahan baku,” katanya. Belum lagi biaya pengiriman kayu yang relatif tinggi. Perusahaan mesti mengirim komoditasnya melalui pelabuhan Makassar, Surabaya, atau Jakarta. Padahal, jika Pelabuhan Internasional Kariangau Balikpapan membuka pelayaran langsung (direct call), maka biaya pengirimannya akan lebih murah. Namun, Novel masih optimistis. Industri kayu di Kaltim akan bangkit. Terlebih, adanya dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang ingin Indonesia meningkatkan penghasilan di bidang sumber daya kehutanan. Tetapi bentuknya tak seperti dulu. Kayu tak dijual begitu saja. Mesti diolah dan dikembangkan melalui pabrik yang dibangun di Kaltim. Sehingga dapat menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Kata Novel, terdapat tiga hal yang menjadi syarat agar industri perkayuan di Kaltim berkembang: ketersediaan bahan baku, pangsa pasar, dan penggunaan tehnologi terbaru. “Jangan pakai mesin tua terus. Industri juga harus meremajakan mesin-mesinnya. Perkembangan teknologi harus diikuti,” saran Novel. (qn/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait