Fintech jadi Penolong UMKM Bertahan Selama Pandemi

Jumat 25-02-2022,11:42 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Keberadaan fintech dianggap sangat membantu pelaku UMKM. Utamanya saat menghadapi pandemi. Tapi tidak semua UMKM bisa mengakses layanan ini. Terutama UMKM di daerah pelosok yang kesulitan jaringan. Kondisi itu diutarakan Anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Maregia Liutanto. Katanya, semenjak ada fintech, UMKM di Indonesia turut terbantu. Bahkan ikut tumbuh. Fintech juga turut berperan meningkatkan perekonomian nasional. Salah satunya meningkatkan produksi pendapatan masyarakat hingga 1,57 persen atau Rp81 miliar. Bahkan angka kemiskinan dan rasio gini juga berhasil ditekan. Dan yang terpenting fintech juga mampu menyerap tenaga kerja baru sebanyak 362 ribu pada 2019. Sasaran utama fintech salah satunya adalah UMKM. Karena keberadannya dianggap memberikan kemudahan pinjaman dana untuk keberlangsungan usaha. “Target kami adalah start up. Mereka pelaku UMKM yang baru mulai usaha dan butuh support pendanaan,” ucap Maregia dalam diskusi Peran Fintech dalam Peningkatan Inklusivitas Keuangan dan Pengembangan UMKM yang diselenggarakan BI Perwakilan Kaltim, Kamis (24/2/2022). Secara demografi pengguna, kata Maregia, 60 persen borrower fintech berusia 19 hingga 34 tahun atau termasuk milenial. Sepanjang lima tahun terakhir jumlah pencairan terhadap 73,24 juta borrower atau user hampir Rp 283 triliun. Angka yang cukup besar untuk perputaran uang. Pertumbuhan fintech juga terbilang positif. Di mana pada 2020 pencairan pinjaman yang hanya sebesar 25 persen, naik dratis hingga 100 persen pada 2021. Tidak semua bisa ikut merasakan keberadaan fintech. Utamanya masyarakat di daerah pelosok. Atau daerah yang terbatas akses informasi serta jaringan. Padahal juga ada pelaku UMKM yang butuh bantuan dana untuk bertahan selama pandemi. Di sinilah tugas semua pihak. Maregia menyarankan pemerintah maupun bank sentral bisa turun tangan mendata para pelaku UMKM. Termasuk sosialisasi atau edukasi mengenai keberadaan fintech. “Karena kami (fintech) tidak punya uang, tapi kami hanya menyalurkan bantuan. Bisa dibilang kami ini kepanjangan tangan pemerintah untuk kemudahan usaha masyarakat,” urai Maregia. Perempuan yang menjabat Vice President Partnership KoinWorks ini menyebutkan persoalan akses ini menjadi tantangan. Karena sebagian besar masyarakat tersebut belum didata. Sehingga bank pun belum bisa memberikan kepastian. Apakah mereka layak atau tidak. “Kalau datanya tidak ada, ya itu menjadi tantangan bagi kita. Gimana caranya supaya mereka tahu dan mereka layak kita support.” Maregia mengategorikan mereka sebagai unbanked SME. Yaitu 46,6 juta pelaku UMKM yang belum memiliki akses mendapatkan kredit. Di bawahnya ada lagi yaitu unbanked people. Yaitu pelaku UMKM yang perlu di-support pendanaan. Tantangan lain adalah keberadaan fintech yang disamakan dengan perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal. “Itu cukup meresahkan kami. Padahal kami ini legal dan diawai oleh OJK dan undang-undang,” tegasnya. Alen Suci Marlina, Asisten Direktur Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen BI ikut menanggapi. Terkait keterbatasan akses informasi masyarakat di pedesaan. Dia menyebut BI sudah melakukan kebijakan inklusi keuangan ke pedesaan. Termasuk sistem pembayaran secara non tunai melalui QRIS. “Strategi kami adalah kolaborasi dengan kementerian perdagangan melalui program pasar dan pusat perbelanjaan di 34 provinsi,” urainya. Harapannya langkah ini bisa memacu digitalisasi pembayaran hingga ke tingkat desa. (boy/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait