Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (3): Suara Petani di Antara Sengketa

Rabu 24-03-2021,13:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Isu kriminalisasi, dan perampasan hutan adat sempat mengemuka dalam gaduh di Desa Long Bentuq. Informasi didominasi dari para penolak keberadaan perusahaan, yang didukung aktivis lembaga swadaya masyarakat. Sementara tak sedikit masyarakat yang berharap daerah mereka semakin maju. Mengejar desa-desa lain di sekitarnya.

nomorsatukaltim.com - STEFANUS Le'eng menarik napas Panjang sebelum memulai cerita gaduh di tanah kelahirannya. Pria 64 tahun itu berusaha memilih kalimat yang tepat untuk merekonstruksi sengketa panjang di desanya. “Di sini kami baik-baik saja, tenteram damai. Tidak seperti kabar yang telah beredar di luar sana,” kata bekas Pelaksana Tugas Kepala Desa Long Bentuq ini. Kalimat itu dipilih Le’eng untuk meyakinkan kami, tidak ada ‘konflik’ yang membuat suasana daerah itu, tegang. Cerita Le’eng disampaikan di sela-sela syukuran panen padi gunung, pekan lalu. “Sungguh kami berharap dan selalu berdoa, agar permasalahan yang ada tidak diperkeruh dengan pihak manapun,” imbuhnya. Ketika saya tanya soal pihak manapun yang ia maksud, petani kakao dan durian ini kalimat itu ditujukan bagi orang di luar Desa Long Bentuq. Menurut Le’eng, Desa Long Bentuq terbentuk pasca adanya pemekaran wilayah Kutai Timur dari Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1993. Pemekaran wilayah terjadi hingga ke tingkat kecamatan dan desa. Long Bentuq awalnya masih satu wilayah dengan Desa Rantau Sentosa, Kecamatan Muara Ancalong. Sebagian wilayah dari Muara Ancalong kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan Busang. Sementara Long Bentuq yang awalnya menjadi satu dengan Desa Rantau Sentosa, akhirnya dipisah. Lalu masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Busang. Inilah mengapa, desa ini berada di antara perbatasan Kecamatan Busang dan Muara Ancalong. Di desa ini telah lama dihuni berbagai suku. Di antaranya ada suku Dayak Modang. Kemudian sejak resmi menjadi desa, awalnya Long Bentuq tidak memiliki luasan batas desa. Hingga di Tahun 2015, terjadi penetapan, sekaligus perubahan batas desa. Hal itu ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kutim. Membuat wilayah Desa Long Pejeng sebagian menjadi wilayah Desa Long Bentuq. Pemkab Kutim kala itu menetapkan, bahwa luasan Long Bentuq 9.000 hektare. “Namun di 2020, batas desa kami ini sudah berubah lagi menjadi 11 ribu hektare,” kata Le’eng. Long Bentuq saat ini dihuni hampir 280 KK (kepala keluarga), dan sekitar 1000 jiwa. Sebagian besar warganya adalah petani. Desa ini, terdiri dari 7 RT. Lokasi hutan adat yang menjadi objek sengketa terletak di RT 1, 2 dan 3. “Sebenarnya hutan adat yang disebutkan itu, selama ini masih sebatas omongan atau klaim saja,” imbuh petani kakao dan durian ini. Menurut bekas kepala desa ini, Pemerintah tidak pernah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa kawasan itu sebagai hutan adat. “Sedangkan yang saya tahu, untuk menjadikannya sebagai Hutan Adat atau Hak Ulayat, tentu ada prosesnya,” ujar warga Dayak Modang Long Wei ini. Selama ini, menurut Le’eng, tidak ada pernyataan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat.

ASAL MULA

Tuduhan pencaplokan lahan hutan adat ini bermula dari terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kutai Timur (Nomor: 22/02.188.45/HK/I) pada 2006 yang berisi izin pembukaan perkebunan sawit untuk PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) seluas 14.350 hektare. Pembukaan perkebunan sawit itu masuk di wilayah lima desa. Terdiri dari tiga kecamatan. Diantaranya Desa Long Nah dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong. Lalu Desa Melan di Kecamatan Long Mesangat. Terakhir ada Desa Long Pejeng dan Desa Long Bentuq di Kecamatan Busang. Ke lima desa ini semuanya dihuni oleh suku Dayak Modang. PT SAWA merupakan anak perusahaan dari PT Yudha Wahana Abadi. Selain PT SAWA, perusahaan ini juga memiliki anak perusahaan. Yakni PT Hamparan Perkasa Mandiri (PT HPM), yang turut membuka perkebunan sawit di Kecamatan Busang. Awalnya pembukaan perkebunan sawit ini mendapatkan penolakan dari komunitas suku Dayak Modang yang ada di lima desa tersebut. Akhirnya PT SAWA berinisiatif menawarkan sejumlah program kerja sama dengan masyarakat. Yakni berupa program kemitraan, plasma, percetakan persawahan, tanaman jagung, tanaman kelapa sawit, ternak sapi dan sebagainya. Setelah mendapatkan penawaran program, sejumlah desa yang awalnya menolak, lalu menerima tawaran perusahaan. Desa yang awalnya menolak ialah Long Nah, Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong. Lalu Desa Melan di Kecamatan Long Mesangat. Warga di ketiga desa itu beranggapan, kerja sama itu bisa membantu pembangunan di desa mereka. Ditambah lagi saat itu perusahaan sawit juga telah menyerap tenaga kerja dari warga desa. Perlahan lingkungan desa pun mulai terbangun. Tak lama kemudian, Desa Long Pejeng akhirnya juga ikut menyetujui tawaran bekerja sama dengan pihak perusahaan. “Sehingga hanya Desa Long Bentuq yang masih menolak tawaran kerja sama itu. Ibaratnya, kami Desa Long Betuq ini ditinggalkan oleh desa-desa lain, yang dulunya sepakat untuk menolak program dari perkebunan sawit. Dan mereka saat itu mulai merasakan efek dari kerja sama tersebut,” kata Le’eng. Selama itu, Le’eng mengaku tidak pernah dipaksa perusahaan untuk menerima kerja sama. Baru pada 2014, warga desa Long Bentuq memilih menerima program kerja sama dari PT SAWA. “Karena kami sudah melihat sendiri desa-desa tetangga sudah mengalami pembangunan ekonomi. Misalnya, seperti program plasma yang benar-benar menguntungkan bagi warga,” kata dia. Perubahan juga terlihat dari infrastruktur jalan. “Dulu ke mana-mana kami harus lewat sungai, sekarang sudah ada jalan,” ujarnya. Meski masih berupa pengerasan tanah, namun sarana ini sudah bisa menghubungkan antar desa. Sayangnya, menurut Le’eng, keinginan warga Desa Long Bentuq melakukan kerja sama dengan perusahaan banyak dijegal. “Ini terjadi, dikarenakan adanya oknum yang masuk (ke desa) lalu diduga menghasut sebagian warga. Saya tidak bisa menyebutkannya siapa oknum itu, namun memang ada.” “Saya berani mengungkapkannya seperti ini, karena dampak akibat sekelompok warga kami yang mudah dipengaruhi itu, kerja sama ini pun gagal dilakukan. Berdampak pada 80 persen warga Long Bentuq yang sebenarnya sangat menginginkan kerja sama itu dilakukan,” imbuh Le’eng. Pada 2015, sekelompok warga yang mempermasalahkan kehadiran perusahaan kemudian mempermasalahkan batas wilayah desa. Penataan batas wilayah antar desa ini pun akhirnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten Kutim. Singkat cerita, Bupati Kutim kemudian mengeluarkan SK terkait batas wilayah Desa. Yang membuat sebagian wilayah Desa Long Pejeng masuk ke dalam wilayah Desa Long Bentuq. Lahan seluas 1003 hektare, yang sebenarnya telah dilakukan pembebasan lahan oleh pihak PT SAWA kepada warga Desa Long Pejeng, malah diklaim sepihak oleh sekelompok orang, kalau lahan itu adalah bagian Hutan Adat atau Hak Ulayat. Pengerjaan pembebasan lahan yang dilakukan PT SAWA kemudian dipermasalahkan. Belakangan, disebut sebagai pencaplokan lahan di atas hutan adat Suku Dayak Modang Long Wei. “Sementara pihak perusahaan, sebenarnya sudah menyelesaikan pembebasan lahannya dengan warga Desa Long Pejeng,” katanya. Hanya karena batas wilayah yang berubah, kemudian mereka menyebut bahwa lahan yang sedang dikerjakan PT SAWA itu sebagai Hutan Adat. Sementara dalam administrasi negara, hutan itu juga tidak mendasar disebut sebagai Hak Ulayat. Karena tidak memenuhi ketentuan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Sekelompok warga lalu menuntut PT SAWA membayar denda adat sebesar Rp 15 miliar. Denda diminta atas dasar dugaan mencaplok lahan hutan adat yang mereka klaim tersebut. “Menurut saya, tuntutan itu hanya nafsu.   Mereka malah menolak program jangka panjang, yang sebenarnya diharapkan hampir seluruh warga Desa Long Bentuq. Padahal dengan kerja sama, warga kita diberikan hak seperti plasma dan program lain-lainnya,” cerita Stefanus Le’eng. (bersambung/aaa/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait