Learning Loss Mengancam

Sabtu 06-02-2021,10:19 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TARAKAN, DISWAY – Sudah hampir setahun belajar tatap muka tidak dilaksanakan, karena dampak pandemik COVID-19. Perkembangan belajar anak, pun mulai dikhawatirkan sejumlah orangtua.

Menurut akademisi Universitas Borneo Tarakan, Suyadi, learningg loss atau penurunan kemampuan belajar siswa, tidak bisa dipandang remeh. Karena dirinya melihat, Indonesia salah satu negara yang berpotensi mengalami learning loss. Karena jeda berkepanjangan dalam proses belajar mengajar secara tatap muka. "Dampak learning loss ini bisa menimbulkan kekerasan di dalam rumah tangga. Karena banyak sekali orangtua yang tidak paham bagaimana cara mendampingi anak. Karena mereka memang tidak punya pengalaman," ujar Suyadi, Jumat (5/2). Dampak lain, lanjutnya, potensi bertambahnya kasus anak putus sekolah. Akibat kejenuhan dan siswa sudah tidak merasa membutuhkan didikan dari sekolah lagi. Karena tidak tersedianya wadah secara nyata dalam mengikuti pendidikan tatap muka. "Karena ada pandangan, sekolah tidak lagi memberikan sesuatu yang signifikan terhadap peserta didiknya. Berikutnya, ada potensi peserta didik bisa stres. Karena kurangnya interaksi dengan dunia luar secara langsung," tuturnya. Selain itu, kata Duyadi, peserta didik dapat kehilangan kemampuan membaca dan menulisnya. Akibat tidak mendapat asahan lanjutan. Sehingga, tidak adanya perkembangan kemampuan, membuat kemampuan siswa terkikis dan dapat hilang. "Bahkan, kemungkinan besar anak yang sudah bisa membaca, bisa kehilangan kemampuan membacanya. Data-data kan telah dikemukakan oleh Kemebdikbud bahwa ini saja sudah 50 persen siswa kehilangan potensinya," ungkapnya. Ia mencontohkan bencana alam yang terjadi di Srilangka. Yang berdampak terhadap aktivitas pendidikan di sana selama beberapa bulan. Akibatnya, penyerapan ilmu di negara tersebut tidak berjalan dengan baik. "Apalagi ini sampai 2 semester (pembelajaran jarak jauh). Tapi untuk negara-negara maju seperti di Eropa, mereka sudah ada persiapan meditasi. Yang dilakukan pihak terkait untuk persiapan anak masuk sekolah," ujar Suyadi. "Jadi tidak bisa selesai pandemi anak-anak langsung masuk (sekolah). Harus dilakukan mitigasi dulu kemampuan mereka sampai mana. Apakah mereka sudah pada kompetensi yang diinginkan. Sebelum mereka naik kelas, seharusnya sekolah melakukan akselerasi. Jadi anak-anak ini dibina dulu untuk menyesuaikan," sambungnya. Lanjutnya, sejauh ini aspek ketersediaan jaringan internet menjadi salah satu tantangan bagi siswa dan guru selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). Terutama bagi siswa dan guru di daerah terpencil. "Ini dampaknya cukup serius, karena siswa bisa kehilangan 16 poin dalam kemampuan belajarnya,” ujarnya. Menurut Suyadi, seharusnya pihak terkait melakukan mitigasi. Karena Kemendikbud sudah memberikan warning membuka sekolah dengan jumlah terbatas. “Kalau di desa-desa, seharusnya di sana kan permasalahannya cukup kompleks. Bagaimana mau (belajar, Red) online, jaringan saja belum tentu ada. Seharusnya, diambil kebijakan pemerintah daerahnya bisa membedakan kondisi daerah," bebernya. "Kecuali kota berkembang seperti Tarakan, mungkin bisa dilihat. Boleh dilakukan dengan jumlah terbatas tadi, atau protokol kesehatan yang tepat. Kalaupun pemerintah mengambil kebijakan tegas, saya pikir tidak masalah. Karena ancaman learning loss ini lebih besar daripadan COVID-19. Apalagi vaksinasi sudah berjalan," lanjut Suyadi. */ANI/REI
Tags :
Kategori :

Terkait