Produksi Kelapa Sawit Diprediksi 49 Juta Ton, Berharap Dampak Vaksinasi 

Jumat 05-02-2021,13:24 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Produksi minyak sawit Indonesia tahun ini diproyeksi naik signifikan. Hal itu didorong oleh pemeliharaan kebun yang lebih baik, cuaca yang lebih mendukung dan harga yang menarik.

Produksi crude palm oil (CPO) diperkirakan mencapai 49 juta ton. Sementara palm kernel oil (PKO) sebesar 4,65 juta ton. Hal ini disampaikan langsung Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono dalam Konferensi Pers Refleksi Industri Sawit 2021 dan Proyeksi 2021 melalui daring, pada Kamis (4/2) kemarin. Joko menjelaskan, bahwa dengan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program B30, sehingga konsumsi biodiesel menurut Asosiasi Produsen Biofuel (Aprobi) diperkirakan sebesar 9,2 juta kiloliter (Kl). Yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. "Penggunaan sawit untuk oleokimia di 2021 diperkirakan sekitar 2 juta ton untuk domestik dan sekitar 4,5 juta ton untuk ekspor (Apolin 2021)," tutur Joko. Ia menilai permintaan minyak nabati dunia akan sangat tergantung dari keberhasilan vaksin COVID-19. Keberhasilan program vaksin akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Sehingga akan meningkatkan konsumsi minyak nabati termasuk minyak sawit. "Banyak negara yang karena alasan ekonomi terpaksa lebih terbuka. Ekspor minyak sawit Indonesia juga diperkirakan akan meningkat di tahun 2021 baik volume maupun nilainya," sebutnya. Beberapa faktor yang akan memengaruhi permintaan. Di antaranya kembali berjangkitnya COVID-19 di China maupun negara lain. Dan juga berjangkitnya African Swine Fever yang mengganggu permintaan oilseed dan oilmeal. Yang pada akhirnya akan mengganggu permintaan minyak nabati termasuk minyak sawit. Refleksi Industri Kelapa Sawit 2020 Desember 2019 harga CPO cif Rotterdam mencapai USD 787 per ton.  Mulai bergerak naik dari USD 542 per ton sejak Agustus 2019. Itu setelah berada pada rata-rata USD 524 per ton selama Januari-Agustus 2019. Namun, Januari-Mei 2020 harga turun dan mencapai USD 526 per ton. Hal itu disebabkan permintaan di China mulai menurun karena pengaruh COVID-19. Faktor lain, tekanan pasokan kedelai ke China karena perang dagang dengan Amerika berkurang dengan panen kedelai di Brazil. Dan anjloknya harga minyak bumi yang mencapai USD 27per barel (USD 147 per ton). Pada Mei 2020, China sudah pulih dari pandemi dan meningkatkan impor besar- besaran oilseed dan minyak nabati. Ini dilakukan untuk memulihkan stok yang telah terkuras. Yang kemudian mendorong harga minyak nabati naik. Pidato Presiden RI Jokowi pada Agustus 2020 yang menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus melaksanakan program biodiesel dalam negeri ikut mempertahankan tren naik harga minyak nabati. Harga yang baik pada awal 2020, memungkinkan pekebun memupuk dan memulihkan kebunnya. Sehingga dengan cuaca yang mendukung, terjadi kenaikan produksi CPO dan PKO rata-rata Januari hingga Juni 2020 sebesar 3.917 ribu ton. Kemudian meningkat menjadi 4.680 ribu ton untuk rata-rata Juli sampai Desember 2020. Bersamaan dengan kenaikan tersebut, harga CPO dan minyak nabati naik dari rata–rata USD 646 per ton di semester I 2020 menjadi USD 775 per ton pada semester II 2020. Adapun sentimen dalam negeri, kata Joko, terletak pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menyebabkan konsumsi pangan turun pada 2020 dari 801 ribu ton pada Januari menjadi 638 ribu ton pada Juni 2020. Pelonggaran pembatasan menaikan kembali ke 723 ribu ton pada Desember 2020. Sementara itu, konsumsi oleokimia terus naik karena meningkatnya konsumsi sabun dan bahan pembersih. Yakni dari 89 ribu ton pada Januari menjadi 197 ribu ton pada Desember 2020. Begitu juga konsumsi biodiesel. Naik dibandingkan 2019 karena perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Secara total di 2020, konsumsi produk minyak sawit dalam negeri 17,35 juta ton. Angka itu naik 3,6% dari 2019 sebesar 16,75 juta ton. “Akibat dari situasi pandemi yang berdampak global, performa volume ekspor minyak sawit Indonesia pada 2020 dengan total ekspor 34,0 juta ton bergeser turun dibandingkan dengan performa 2019 dengan total ekspor sebesar 37,39 juta ton," tukasnya. Meskipun terjadi penurunan volume ekspor, secara nilai, ekspor 2020 yang mencapai USD 22,97 miliar lebih tinggi dari 2019 sebesar USD 20,22 miliar. Hal ini mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Di mana pada 2019 hampir selalu negatif dengan total defisit sebesar USD 3,23 miliar. Sedangkan pada 2020 selalu positif kecuali pada Januari dan April dengan total nilai USD 21,72 miliar. Dia menambahkan, sepanjang 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar USD 21,27. Di mana ekspor produk kelapa sawit menyumbang sebesar USD 22,97 miliar dari total nilai. "Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa di masa pandemi, kontribusi minyak sawit terhadap devisa negara sangat signifikan dalam menjaga neraca perdagangan nasional tetap positif," imbuhnya. (fey/eny)  
Tags :
Kategori :

Terkait