Regulasi PTM Setengah Hati

Selasa 05-01-2021,15:15 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Sejumlah daerah di Kalimantan Timur secara resmi menunda Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Pengecualian diberikan bagi kawasan yang tak memiliki jaringan internet.

nomorsatukaltim.com - Pemerintah Kota Balikpapan resmi menunda PTM setelah sempat melakukan uji coba. Keputusan penundaan ditetapkan melalui Surat Edaran Wali Kota Balikpapan Nomor 423/0101/Disdikbud, tentang penyelenggaraan pembelajaran semester genap jenjang PAUD, TK, SD dan SMP se-Kota Balikpapan Tahun Ajaran 2020-2021. Dengan keputusan itu, para pelajar tetap melanjutkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). "Orang tua peserta didik diminta mendampingi putera-puterinya selama mengikuti pembelajaran daring di rumah," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Muhaimin, Senin (4/1/2021). Mereka diwajibkan mengawasi anak didik menyelesaikan tugas sekolah dan melarang keluar rumah kecuali dengan alasan yang sangat penting. Bukan hanya soal penundaan PTM, pemerintah juga mengatur sistem kerja guru dan tenaga pendidikan selama pandemi. “Sesuai pengaturan kehadiran aparatur di lingkungan pemkot, 50 persen guru hadir di sekolah dan 50 persen melaksanakan WFH (bekerja di rumah)," imbuh Muhaimin. Namun Pemkot Balikpapan memberi pengecualian. Tiga sekolah diizinkan menggelar PTM karena alasan sinyal. Yakni SMP Negeri 021 dan SD Negeri 021 di Teluk Waru dan SD Negeri 014 di Balikpapan Timur. Secara geografis ketiga sekolah itu berada di wilayah blankspot yang kekurangan akses internet. "Sesuai surat edaran, buat siswa di daerah itu boleh belajar berkelompok maksimal 5 orang dengan standar protokol kesehatan (Prokes)," kata Muhaimin. Upaya lainnya bisa juga dengan home visit. Guru mendatangi rumah-rumah muridnya. Namun cara ini hanya diterapkan di SD Teluk Waru, “karena jarak antara sekolah dan rumah para muridnya berdekatan,” kata Muhaimin lagi. Sekolah itu menerapkan pengajaran dengan kombinasi. Ada yang belajar kelompok di sekolah, ada yang belajar home visit di rumah. Dalam satu minggu, proses pembelajaran dilakukan selama lima hari atau enam hari kerja dengan pengaturan jadwal belajar ditentukan satuan pendidikan. "Yang pengaturan lima hari itu masuknya jam 08.00 sampai pukul 14.00 Wita, kemudian yang enam hari, masuknya jam 8 pulangnya jam 13," urai Muhaimin. Kepala satuan pendidikan di tiap jenjang juga wajib menyampaikan laporan kepada Disdikbud Balikpapan melalui pengawas pembina. "Yang terakhir, kapan PTM akan dilaksanakan akan diberitahukan kembali kepada orang tua, wali atau peserta didik. Tentunya berdasarkan rekomendasi gugus tugas," imbuhnya. Sementara Disdikbud Kabupaten Kutai Barat tak mau setengah-setengah. Meski banyak wilayah blankspot, Kubar memutuskan menunda PTM di seluruh sekolah. Langkah itu diambil untuk menjaga keselamatan peserta didik dan para guru, karena daerah itu dalam status zona merah pandemi COVID-19. Kabid Pembinaan Pendidikan Dasar (PPD) Disdikbud Kubar, Yakobus Yamon, menjelaskan, penundaan berdasarkan Surat Edaran Kadisdikbud Kubar  nomor : 420/9721/UM-PPD/DPK-II/XII/2020 tertanggal 30 Desember 2020,  tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021. “Sesuai SKB 4 Menteri, penyelenggaraan pembelajaran semester genap TA 2020/2021 kebijakannya diserahkan kepada pemerintah daerah,” ujar Yakobus Yamon. Karena itulah, pihaknya memilih menunda PTM, atau Belajar dari Rumah (BDR) atau secara daring/online. “Sambil menunggu kebijakan resmi dari Pemkab dan Tim Gerak Cepat (TGC) COVID-19 Kubar yang akan menyatakan kondisi Kubar aman untuk melaksanakan PTM,” bebernya. Disdikbud Kubar berharap semua kepala sekolah menginformasikan penundaan PTM kepada masyarakat. “Terutama  kepada seluruh pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua peserta didik, serta pihak-pihak terkait di satuan pendidikan di Kubar,” tandas Yakobus Yamon. Kadisdikbud Kubar telah mengeluarkan surat edaran nomor : 420/8709/UM-PPD/DPK-II/XI/2020, tanggal 10 November 2020.Yakni tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) untuk sekolah se-Kubar dibawah naungan Disdikbud Kubar. PTM tersebut awalnya direncanakan akan dimulai bulan ini.

TAK MASALAH

Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia mendukung keputusan pemerintah daerah menunda PTM. "Pertimbangan utamanya adalah faktor kesehatan dan keselamatan anak-anak," kata  dewan pengurus IPK Kaltim, Ayunda Ramadhani. IPK Indonesia menilai tidak ada urgensi, atau alasan yang kuat untuk menggelar pembelajaran tatap muka dalam situasi saat ini. Maka menurut mereka, sudah sewajarnya jika rencana tersebut dikaji ulang, dan diputuskan ditunda. Organisasi ini juga telah merilis rekomendasinya kepada pemerintah berdasarkan penelitian mereka pada November 2020. Penelitian dilakukan Satgas Penanggulangan COVID-19, IPK Indonesia bersama Puslitjak, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud. Penelitian tersebut menguji masalah kesehatan mental yang mungkin terjadi, dari perspektif siswa di masa pandemi. Kekhawatiran mengenai kesehatan mental, menjadi salah satu alasan pemerintah menggelar metode pembelajaran tatap muka. Namun, hasil penelitian menyebut, secara psikologis tidak ada perbedaan signifikan antara stres anak didik ketika belajar dari rumah maupun belajar tatap muka. "Jadi dari sisi perspektif anak, mereka sebenarnya tidak stres ketika harus belajar dari rumah. Gak ada perbedaan tingkat stres antara dua metode pembelajaran itu. Atau bahkan ketika mengombinasikan kedua metode tersebut," ujar Ayunda. Penelitian tersebut melibatkan 15.304 siswa di 32 provinsi di Indonesia. Dari jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK. Penelitian ini melakukan pengukuran pada aspek kesehatan mental. Dengan cara membandingkan kondisi psikologis tiga kelompok siswa yang dibedakan berdasarkan cara belajar. Yaitu Belajar Dari Rumah (BDR), Tatap Muka (TM) dan Campuran atau kombinasi keduanya (BDR-TM). Pengukuran tingkat kondisi psikologis siswa dilakukan dengan menggunakan tiga skala. Yakni Strength and Difficuities Questonnaire (SDQ) untuk mengukur masalah emosi dan perilaku. Kemudian Children's Revised Impact of Event Scale-13 (CRIES-13) untuk mengukur gejala trauma. Dan Psychological Well-Being Scale-18 (PWB-18) untuk mengukur kesejahteraan psikologis. "Penelitian ini dilakukan karena para psikolog di IPK juga bertanya-tanya. Tentang kebenaran hipotesis bahwa dengan belajar dari rumah, anak-anak jadi stres. Ternyata setelah dilakukan penelitian, tidak ada perbedaan," tutur Ayunda Rahmadhani. Ayunda, mengatakan memang banyak pertimbangan untuk memutuskan kebijakan pemerintah tersebut. Sebab secara psikologis pula, tidak dipungkiri, bahwa banyak orang tua yang mulai mengalami kesulitan berkepanjangan selama sembilan bulan terakhir. Karena memang tidak siap dengan kondisi ini. Apalagi, sebagian besar dari mereka juga harus bekerja sambil mengurus dan mendidik anak. Serta konflik multi peran lainnya. Terlihat dari survei angket yang dilakukan Pemda. Data yang mendominasi adalah; orang tua menginginkan anaknya segera bisa sekolah tatap muka. Namun, kata dia, jika menilai berdasarkan risiko, akan lebih banyak mudaratnya bila anak-anak peserta didik mulai melakukan  pembelajaran tatap muka sekarang. Sebab, lanjut Ayunda, pemerintah sendiri belum menyiapkan SOP (standard operasional prosedur) ketika ternyata ada temuan indikasi kuat terinfeksi COVID-19 di sekolah. "Bagaimana secara psikologis guru akan menindaklanjuti? Bagaimana para orang tua bisa memaklumi?" tanyanya. Pemda harus menyiapkan terlebih dahulu, SOP itu, sebagai dukungan psikologis awal, jika hendak menggelar pembelajaran langsung.  Kemudian Pemda juga harus melakukan analisis risiko. Memberikan training kepada guru-guru agar ketika ada temuan kasus di sekolah, para guru bisa menyikapi dengan tepat. "Hal-hal begitu kan memang belum dipikirkan secara matang yah," imbuh Ayunda. Di satu sisi, yang harus disiapkan dalam melaksanakan sekolah tatap muka di masa pandemi, menurut Ayunda bukan hanya sekadar penerapan protokol kesehatan saja. Yakni menyiapkan tempat cuci tangan, thermo gun dan lain sebagainya. Yang lebih harus dipikirkan ialah, bagaimana secara psikis guru-guru juga siap melakukannya. Bagaimana anak-anak juga secara psikis siap memakai masker berjam-jam. Bagaimana menjaga interaksi siswa di sekolah. Menjamin untuk tetap menjaga jarak. Dan mengenakan maskernya. Lalu, jika para guru juga harus mengajar secara offline dan online, akan tidak kalah stress-nya. Sebab otomatis bebannya akan bertambah. Dari situ, IPK Indonesia Kaltim, menyatakan  secara umum daerah ini belum siap menggelar sekolah tatap muka. Sebab, faktor keselamatan dan kesehatan adalah prioritas utama. Sehingga apapun kesulitannya, belajar dari rumah, mesti dihadapi. Karena nyawa tidak ada gantinya. "Mungkin ke depan kita akan menemukan formula yang tepat. Kalau nanti kita sudah bisa menyiapkan SOP dukungan psikologis. Kemudian tingkat penularan sudah lebih rendah dari 5 persen sesuai standar WHO .  Mudah-mudahan kita bisa segera sekolah tatap muka," tutup praktisi psikologi klinis dan pengajar psikologi di Unmul itu. (ryn/imy/das/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait