Kebun Cokelat Makin Sekarat

Selasa 05-01-2021,14:15 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Kakao pernah menjadi salah satu komoditi perkebunan andalan Kalimantan Timur. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, produktivitas daerah ini terus merosot.

nomorsatukaltim.com - Selain sawit dan karet, kakao pernah menjadi andalan Benua Etam. Hasil perkebunan ini diekspor ke Sabah, Malaysia, maupun Amerika Serikat melalui Makassar, Sulawesi Selatan. Kabupaten Mahakam Ulu salah satu daerah penghasil kakao dengan kualitas unggul. Bisa dibilang sangat memenuhi syarat menjadi sentra kakao di Indonesia. Pertama karena kondisi alam perbukitan yang cocok dengan karakteristik kakao. Kemudian lahan yang sudah cukup luas, serta ketersediaan tenaga kerja. Kebun kakao Mahulu terhampar di lima kecamatan. Yaitu Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai dan Long Apari. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, luas lahan kakao mencapai 1.499 hektare dengan kapasitas produksi 282 ton, atau 440 kilogram per hektare. Sementara jumlah petani yang terdata sebanyak 224 kepala keluarga. Meski punya potensi yang bagus, perkebunan kakao di Mahulu menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya ketergantungan petani menjual biji cokelat kering kepada tengkulak. "Di sini tidak ada pabrik pengolah yang mau beli biji kakao dari petani," kata Samsul Bahri. Pria 32 tahun ini dikenal sebagai salah satu tengkulak skala menengah. Warga Long Apari ini sudah cukup lama menjadi pengepul biji kakao kering dari petani. Walau begitu, Samsul berdalih pengepul kakao bukan pekerjaan utamanya. Ia memilih mengurus toko sembako. Alasan utamanya, tidak ada daya dukung yang bisa berpotensi mengembangkan perkebunan ini. Selain soal pabrik, kendala yang dihadapi ialah infrastruktur, pengadaan bibit, serta pupuk. Semua hal itu menjadi penyebab menurunnya minat warga setempat menanam kakao. Samsul menjadikan dirinya sebagai contoh. Meski sudah mengeluarkan biaya membuat gudang khusus berkapasitas 10 ton. Ia hanya membeli kakao kalau ada petani menjual langsung. Sebagai tengkulak ‘pasif’, dalam sebulan Samsul bisa mengumpulkan 5-6 ton. Biji cokelat kering itu selanjutnya dijual ke Samarinda, yang tentu saja memerlukan ongkos yang tinggi. Tengkulak seperti Samsul tak berani menentukan harga beli ke petani. Ia mengikuti harga pasar yang ditentukan pabrik. “Sekarang ini saya hanya berani membeli Rp 20 ribu per kilogram,” kata dia. Sampai ke tangan pabrik, ia dihargai Rp 26 ribu sampai Rp 27 ribu. Ada selisih Rp 7 ribu. Tapi, selisih itu nyaris habis dijalanan. Biang keladinya ongkos transportasi yang tinggi. Kalkulasinya, dari Long Apari ke Long Bagun, lalu ke Samarinda memakan ongkos Rp 2 ribu per kilogram. Maka dalam sekarung (50 kg) pengepul harus mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. Saat air Mahakam surut, ongkos angkutnya lebih gila lagi. Biaya angkut longboat mencapai Rp 150 ribu setiap karungnya. “Sekali naik kadang satu longboat muat 5 ton. Sulit melintasi riam, bertaruh nyawa,” ungkapnya. Karena itu jika cuaca musim air Sungai Mahakam surut, harga kakao terjun bebas menjadi Rp 16 ribu per kilogram. Jika dirata-rata, pengepul mendapat keuntungan kotor Rp 2 juta -3 juta per ton. Itu belum dipotong ongkos angkut dan konsumsi selama perjalanan. Maka sebenarnya Samsul –juga pengepul lainnya- tak banyak mendapat keuntungan. Mereka mengambil untung dengan berjualan sembako. Maka setiap ke Samarinda, dimanfaatkan belanja dagangan. Pernah suatu ketika, tergiur harga Sulawesi Selatan,  Samsul mengirim 10 ton ke daerah itu. Ia beli di Long Apari Rp 27 per kg, sampai di sana, pabrik hanya membeli Rp 28 ribu per kilogram. “Bukan untung, tapi buntung. Normalnya, biaya total per ton dari Long Apari ke Sulsel Rp 3 juta sampai pabrik kakao di Makassar,” kisah Samsul. Gara-gara itu, Samsul kini lebih suka menjual kakao di Samarinda. Menurut Samsul, biji kakao Mahulu memiliki kualitas terbagus di Indonesia. Oleh karena itu dia tak akan berpindah mengepul biji kakao di Mahulu. “Sayangnya saat ini hasil kebun kakao di Long Apari belum merata. Penghasil terbesar hanya dua kebun.Yaitu punya Pak Rudi Walet dan satu lagi milik petani lainnya,” kata pria yang sudah 25 tahun tinggal di Mahulu. Berbagai kendala ini sangat disayangkan Samsul. Padahal dengan kualitas kakao terbaik, potensi Mahulu bisa ditingkatkan. Karena itulah banyak petani berharap Pemkab Mahulu membangun pabrik pengolahan kakao kering. Baik yang dikelola sendiri oleh pemkab melalui perusda. Atau dengan menggandeng swasta. Ketersediaan pabrik di Mahulu tentu dapat memangkas distribusi kakao kering. Juga dapat memotong ongkos. Sehingga harga yang diterima petani bisa lebih baik. Sementara dari sisi tengkulak. Berharap pemerintah memberikan subsidi ongkos angkut (SOA). Setidaknya untuk tengkulak dari pedalaman Mahulu seperti Long Apari dan kecamatan lain yang menggunakan transportasi air. “Saya mohon bantuan SOA dari pemkab. Kalau ada SOA, saya akan naikkan harga beli. Selama ini belum dapat SOA. Sehingga harga beli tidak bisa naik,” tukasnya. Solusi lainnya adalah membangun akses darat. Yang tentu juga akan memotong waktu dan ongkos distribusi. Walau memang, solusi terakhir ini sangat sulit untuk direalisasikan. “Kalau jalan darat dari Long Apari-Long Bagun memadai bisa membantu masyarakat. Saat ini transportasi darat tidak ada. Karena akses darat sulit dilintasi,” kata Samsul.

PEMKAB MENJAWAB

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Mahulu mengaku sudah melakukan riset terkait potensi kakao. Menurut  Kepala DKPP Mahulu, Saripuddin, akses jalan bukan menjadi kendala. Tapi lebih ke persediaan kakao kering dari petani pekebun. “Produksinya bulanan terlalu rendah, sehingga sulit bermitra dengan pabrik pengolahan,” katanya. Oleh karena itu hingga saat ini hasil kebun kakao masyarakat di Long Apari dan sejumlah kecamatan lainnya di Mahulu, masih didominasi tengkulak. “Namun harga Rp 20 ribu per kilogram tersebut sudah lumayan (tinggi). Karena petani hanya menjualnya di Long Apari, Long Pahangai, atau  di Kecamatan Laham saja,” jelas Saripuddin, Minggu 3 Januari 2021. Dengan begitu, pemkab akan lebih fokus pada perluasan kebun kakao di Mahulu. Dengan pemerataan yang baik di setiap kecamatan. Sehingga jika dikalkulasikan, bisa memenuhi berat minimal untuk diambil pabrik pengolahan ke Mahulu. Langkah yang sudah diambil pun berupa penyiapan bibit unggul, pestisida, alat pertanian, dan pupuk secara gratis. Upaya ini diharapkan bisa jadi stimulan masyarakat untuk mau lebih serius mengurus kebun kakaonya. Agar produktivitas kakao di Mahulu bisa lebih baik ke depannya. “Kemitraan ke depan akan difasilitasi oleh DKPP,  bahkan akan dilakukan temu pengusaha dengan petani kakao langsung di Mahulu,” tukas Saripuddin. Pemkab Mahulu sendiri sebenarnya sudah mendirikan pabrik pengolahan skala kecil di Kecamatan Long Pahangai. Ada 4 set mesin pengolahan di Kampung Tiong Bu’u, Long Isun, dan Long Tuyoq. Serta ada 2 unit di Kampung Long Pahangai. “Kemudian di Kampung Long Lunuk juga ada mesin pabrik mini pengolah biji kakao kering bantuan dari Kemendes PDT. Semua pabrik mini itu sudah berjalan selama dua tahun terakhir,” tegasnya. Bahkan setahun terakhir DKPP Mahulu bekerja sama dengan Yayasan Penabulu. Yakni melakukan edukasi melalui sosialisasi guna meningkatkan SDM bagi petani dalam pengembangan perkebunan kakao di Mahulu. “Termasuk mengedukasi dalam pengolahan dan pemasaran hasil produksi kebun kakao,” bebernya lagi. DKPP Mahulu juga telah melakukan kerja sama dengan CSR PT Astra Internasional. Itu berlangsung selama dua tahun, berakhir pada September 2020. Tapi soal pabrik pengolahan mini itu. Masih memiliki banyak kekurangan. Karena bubuk hasil olahannya. Selain masih dalam skala kecil. Produknya belum memiliki izin edar dari BPOM dan sertifikasi halal dari MUI. Sehingga produk yang dihasilkan hanya diedarkan di pasaran lokal saja. Sehingga prospeknya pun masih minim. Dengan alasan itu lah, pekebun masih lebih suka menjual kakaonya ke tengkulak. Karena lebih menjamin keberlangsungan. Sadar bahwa pabrik mini itu belum bisa menjadi tumpuan. Pemkab ke depan akan memberdayakan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKa). Untuk menjadi pengepul resmi. “Sehingga BUMKa menjadi pengumpul atau pengepul resmi biji kakao kering petani setiap kampung. Dengan harga yang dipatok sesuai pabrik,” ucap Saripuddin. Terkait subsidi ongkos angkut, DKPP telah mengajukan usulan ke APBD Mahulu tahun 2021. Harusnya langkah ini tak terganjal karena sudah melalui koordinasi dengan bupati. Tapi subsidi hanya diberikan untuk angkutan hasil pertanian dan perkebunan antar kecamatan saja. Bukan antar kabupaten. Realisasi SOA selanjutnya hanya menunggu perubahan peraturan bupati (Perbup) saja. “Ditambah subsidi dari Pemkab Mahulu untuk distribusi produk pertanian,” tandasnya. Perlu diketahui, akses darat antara Long Apari-Long Bagun sendiri sebenarnya sudah ada. Tapi belum memungkinkan untuk dilalui kendaraan angkutan. Ke depan, jika sudah dilakukan pengerasan. Dipercaya bisa menggenjot potensi pertanian dan perkebunan dari kecamatan tersebut. Long Apari sendiri adalah kawasan strategis segi tiga emas di Mahulu. Akses darat sendiri direncanakan akan tembus ke Kabupaten Putussibau, Kalbar dan ke Kalimantan Tengah juga.

KAKAO DI KALTIM

Selain Kabupaten Mahulu, daerah lain yang tercatat sebagai sentra penanaman kakao di Kalimantan Timur antara lain Kabupaten Nunukan (Kecamatan Lumbis dan Pulau Sebatik), Kabupaten Malinau (Kecamatan Malinau), Kabupaten Berau (Kecamatan Talisayan), Kota Samarinda (Sempaja dan Berambai), dan Kabupaten Kutai Timur (Teluk Pandan). Di beberapa tempat lainnya juga terdapat areal perkebunan kakao dalam luasan yang relatif kecil. Luas areal pertanaman kakao menurut statistik tahun 2013 sebesar 22.455 hektare dengan produksi biji kakao kering sejumlah 9.527 ton. Namun data tahun 2019 menunjukkan luas areal tanam tinggal 7.328 hektare dengan produksi biji kakao hanya 2.513 ton. Produksi biji kakao kering dengan mutu unfermented sebagian besar dipasarkan di Sabah Malaysia. Produk petani perkebunan kakao lainnya dipasarkan sebagai perdagangan antar pulau ke Makassar untuk selanjutnya dipasarkan ke Amerika Serikat. Pada saat nilai dolar pada rupiah tinggi, harga kakao ikut naik sehingga pendapatan petani meningkat. Dalam upaya mendorong perluasan tanaman kakao, Dinas Perkebunan memberikan bantuan bibit unggul, sarana produksi dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) perkebunan. Tahun ini pemerintah menargetkan peningkatan produksi kakao nasional. Kementerian Pertanian mengklaim ada 1,6 juta hektare kebun kakao di seluruh di Indonesia dengan kemampuan produksi 0,7 juta ton. (imy/ava/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait