Retribusi 0 Persen

Senin 30-11-2020,08:05 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

HARI-hari ini medsos ramai soal retribusi batubara 0 persen. Kecurigaan terhadap UU Omnibus Law pun muncul:  juragan besar batubara yang akan bisa menikmati retribusi 0 persen itu.

Masak sih sejahat itu?

Saya pun mendalami latar belakang retribusi 0 persen itu. Dari mana asal-usulnya.

Terbaca oleh saya draf peraturan pemerintah yang terkait dengan retribusi batubara 0 persen itu. Yakni PP yang dirancang untuk menjabarkan UU Omnibus Law. Khususnya pasal yang terkait dengan hilirisasi batubara.

Kelihatannya diskusi publik soal ini akan panjang. Khususnya mengenai siapa yang akan berhak mendapat fasilitas retribusi 0 persen itu.

Lebih khusus lagi mengenai: apakah akan banyak pembonceng yang ikut menikmatinya. Apalagi di musim heboh ekspor benur lobster sekarang ini. Yang ternyata begitu banyak pemboncengnya.

Kalau drafnya sendiri  bunyinya ideal sekali: untuk mendorong hilirisasi batubara. Agar kita tidak hanya mampu ekspor batubara. Bagus sekali. Sebagus bunyi peraturan ekspor benur lobster.

Sebagai negara penghasil utama sumber daya alam batubara, Indonesia baru pada tingkat bisa ekspor bahan mentah. Batu digali, dikapalkan, diekspor.

Memang tidak mudah melakukan hilirisasi batubara.

Untuk mengolah batubara menjadi gas, misalnya, memerlukan investasi gajah bengkak. Diperlukan mesin-mesin yang besar, modern dan canggih.

Proyek gasifikasi batubara skala kecil terbukti belum ada yang berhasil. Saya pernah ke pulau Kundur –di dekat pulau Karimun nun jauh. Waktu itu saya dengar ada pengusaha setempat yang mencobanya. Begitu turun dari perahu, sudah tercium bau tar yang nyelekit. Bau busuknya sangat mengganggu penduduk.

Usaha gasifikasi ini gagal. Batubaranya sih berhasil diubah menjadi gas, tapi gasnya tidak cukup bersih. Tidak bisa untuk  menggerakkan 12 genset yang berderet di situ. Genset-genset itu pun rusak.

Saya juga pernah ke Melak. Di pedalaman Kaltim. Di hulu sungai Mahakam nan udik itu juga dicoba proyek mengubah batu bara menjadi gas. Sama: untuk menghidupkan genset. Hasil listriknya amat ditunggu masyarakat Dayak sampai di pedesaan Barong Tongkok.

Itu juga gagal. Keduanya menggunakan teknologi dari Tiongkok. Baca juga:kurang pengawasan kaltim banyak kebocoran SDA

Pun yang menggunakan teknologi dari Jerman. Di Kalimantan Barat. Bernasib sama.

Rupanya mengubah batubara menjadi gas harus skala besar. Dengan teknologi yang canggih. Artinya: yang mahal.

Tags :
Kategori :

Terkait