Ketika Agama Jadi Alat Perpecahan

Kamis 05-11-2020,07:56 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Pasca Pilpres 2014, politik identitas menjadi suatu akar masalah yang tak jarang dijumpai di masyarakat Indonesia. Isu konservatisme agama, khususnya Islam, kian menonjol pada Pilpres 2019 dan setelahnya. Kondisi ini mengingatkan kembali terhadap babak sejarah Indonesia di masa lalu. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Yakni Perang Padri di tanah Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar), awal dekade 1800-an.

Konflik laten horizontal saat ini di Indonesia sesungguhnya tak jauh berbeda dengan kelamnya perang saudara di era Perang Padri. Perang yang tercatat dalam sejarah Nusantara. Sebagai salah satu perang saudara terbesar. Yang pernah terjadi. Ditimbulkan oleh perbedaan pandangan agama dan tradisi. Dua identitas kuat yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat hingga kini.

KAUM PADRI

Tak hanya perbedaan berbusana, kaum ulama dan mereka yang sudah haji juga menunjukkan perubahan perilaku dalam bermasyarakat. Perkembangan Islam yang cukup pesat di tahun 1800-an tak bisa dimungkiri mulai menggeser hegemoni kehidupan adat. Dalam setiap segi kehidupan masyarakat Minangkabau. Saat itu mulai terbentuk dua kubu sama kuat. Dikenal dengan sebutan Kaum Padri dan Kaum Adat. Istilah Padri berasal dari bahasa Spanyol “Padree”. Berarti pendeta atau petinggi agama.

Kaum Padri dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memegang teguh ajaran dari Muhammad bin Abdul al-Wahhab–yang kemudian sering disebut sebagai wahabisme–yang mereka pelajari saat menunaikan ibadah haji maupun menuntut ilmu agama di Arab Saudi. Seiring merebaknya wahabisme di Arab Saudi, ajaran puritanisme Islam tersebut juga tertanam kuat di kalangan haji maupun pelajar dari Saudi. Sepulangnya mereka ke Indonesia, selain mulai mengenakan jubah sebagai simbol identitas, mereka juga memiliki “tujuan mulia”. Menyebarkan ajaran Islam yang sempurna dan murni di masyarakat. Dalam hal ini di Minangkabau.

Di lain pihak, Kaum Adat merupakan kaum yang mengikuti tradisi leluhur dan memegang teguh adat istiadat Minangkabau. Meski demikian, karena pesatnya persebaran Islam di Sumbar, sebagian besar Kaum Adat sudah memeluk ajaran Islam.

Ketika Kaum Padri berusaha memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk adat istiadat yang bertentangan atau dianggap “bidah,” Kaum Adat justru semakin kuat melaksanakan kebiasaan adat masyarakat Minang. Seperti sabung ayam, mengunyah sirih, merokok, memakai madat, dan minum minuman keras.

Perdebatan sengit lainnya antara Kaum Adat dan Kaum Padri ialah mengenai pembagian waris. Berdasarkan garis pihak perempuan atau “matrilineal”. Dalam kebudayaan Minangkabau. Hal ini dikutuk oleh Syekh Ahmad Khatib. Karena berbeda dengan hukum waris dalam Islam yang berbau patriarki. Selain itu, Kaum Padri juga menyayangkan longgarnya pelaksanaan ritual ibadah wajib dalam Islam di masyarakat setempat.

PERANG SAUDARA

Merasa terganggu menyaksikan Kaum Adat di tengah adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, salah satu tokoh penting Kaum Padri, Haji Miskin, yang pernah tinggal di Mekkah sesudah pendudukan wahabi tahun 1803 di Kota Hijaz, mulai melarang warga melakukan sabung ayam.

Tags :
Kategori :

Terkait