Diversifikasi Pangan Lokal Alternatif Hadapi Krisis Pangan

Jumat 21-08-2020,13:35 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Sektor pertanian diyakini yang paling mampu bertahan. Dan menjadi solusi keluar dari krisis wabah dan berujung resesi.

Ekspor sektor pertanian Indonesia disebut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo kembali tumbuh sebesar 15,4 persen. Setelah sebelumnya sempat menurun. 

Ketahanan pangan memang menjadi fokus pemerintah. Di tengah pandemi dan ekonomi nasional yang terkontraksi hingga 5,32 persen pada kuartal 2 tahun ini.

Salah satu solusi menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Unmul) Profesor Rusdiansyah adalah dengan diversifikasi tanaman pangan lokal. Yang menjadi salah satu alternatif mengantisipasi krisis pangan.

Pasalnya, dengan pemanfaatan tanaman pangan lokal sebagai makanan pokok. Akan mengurangi konsumsi pada beras. Rusdiansyah mengatakan, di Kaltim sendiri ada beberapa komoditas tanaman lokal yang potensial untuk dikembangkan. Di antaranya talas, sagu, singkong, umbi-umbian, dan pisang.

"Masyarakat tradisional kita secara praktik tradisional sudah menanam  dan mengonsumsi tanam pangan lokal itu.  Tinggal bagaimana kita memanfaatkan itu sebagai bahan pangan alternatif. Sebagai subtitusi beras," terang Rusdiansyah kepada Disway Kaltim, baru-baru ini.

Makanan tradisional dari komoditas tanaman lokal tersebut, jelas Rusdi sudah dimanfaatkan secara turun-temurun. Terutama bagi masyarakat di daerah pedalaman. Contohnya adalah Iluy, panganan olahan dari parutan singkong dan pisang cacah yang dikonsumsi masyarakat suku Dayak. 

Tinggal bagaimana upaya ini juga ditanamkan bagi masyarakat perkotaan. Salah satu caranya, kata dia, adalah memanfaatkan komoditas pangan lokal menjadi produk olahan. Seperti tepung singkong, beras jagung, dan produk olahan setengah jadi lainnya.

"Perlu dorongan ke arah sana. Jadi diversifikasi tidak hanya di tataran konsep. Tapi juga praktik. Bagaimana menggugah kesadaran masyarakat mau memakan panganan tradisional," ungkapnya.

Rusdiansyah juga menyebut, supaya terjadi diversifikasi pangan. Sasaran utamanya adalah masyarakat perkotaan. Karena tingginya konsumsi masyarakat pada beras. Apalagi masih ada mindset yang berkembang di masyarakat. "Kalau belum makan nasi. Belum makan namanya. Itu yang perlahan perlu kita hapuskan," ujar Rusdi.

Mindset itu harus diubah. Dengan membiasakan diri mengurangi konsumsi nasi. Jika biasanya, dalam sehari, bisa tiga kali konsumsi nasi. Maka dapat diubah menjadi 2 kali sehari. 1 kali diganti dengan pangan tradisional.

Potensi komoditas tanaman pangan tradisional, kata Rusdiansyah, cukup tinggi. Di Kutim misalnya, yang memiliki banyak produk pisang. Bahkan hingga diekspor ke luar negeri.

Komoditas singkong dan umbi-umbian juga banyak tersedia. Hanya saja, selama ini, komoditas tersebut hanya dijual mentah. Belum ada pabrik olahan khusus yang memanfaatkan komoditas ini menjadi produk bernilai tambah.

Secara ekonomis pun, harga pangan lokal jauh lebih murah dibanding beras. Dengan gizi yang cukup baik bagi kesehatan. Ubi jalar misalnya. Memiliki gizi tinggi karena mengandung betakaroten dan antosianin. Sebagai obat pencegah kanker dan diabetes. "Kaltim akan krisis pangan, kalau kita terus bergantung sepenuhnya kepada beras," ungkap Rusdi.

Tags :
Kategori :

Terkait