Industri Kayu Kaltim Masih Potensial Dikembangkan

Jumat 14-08-2020,22:13 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Wakil Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Kaltim Novel Chaniago. Istimewa.

Meski sedang lesu, industri kayu belum benar-benar menjadi masa lalu. Ada harapan kembali berjaya. Karena hutan Kaltim masih kaya.

======

Sunset industry. Itulah ungkapan yang tepat. Menggambarkan kondisi industri perkayuan di Kaltim saat ini. Yakni industri yang sedang merosot. Karena telah melewati periode puncak. Kayu tidak lagi menjadi anak emas sektor perekonomian Bumi Etam. Setelah masuknya bisnis penggalian dan pertambangan di Kaltim sejak tahun 1990an.

Wakil Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Kaltim Novel Chaniago mengatakan, penurunan industri kayu dimulai saat masa krisis moneter tahun 1998.

Padahal, sebelum itu, Apkindo menjadi mitra strategis pemerintah. Mengatur pemasaran produk industri kayu. Baik di dalam negeri mau pun pasar global. Sehingga industri tumbuh baik dengan persaingan yang sehat. Serta harga yang stabil.

"Begitu reformasi, monopoli Apkindo ini dibubarkan. Jadi timbul persaingan yang tidak sehat antara sesama pengusaha, banting harga, dan macam-macam," kata Novel, kepada Disway Kaltim, Kamis (13/8). Sejak itulah, kata dia, industri kayu mulai meredup. Belum lagi banyaknya persoalan. Yang menghambat industri ini untuk berjaya lagi.

Pertama, kata dia, terkait teknologi produksi. Pabrik kayu di Kaltim, yang telah bergerak sejak era 1970an. Cenderung menggunakan mesin untuk memotong hasil kayu hutan alam yang diameternya besar. Sehingga sudah tidak relevan lagi dilakukan di masa sekarang. Karena mesin yang sudah terlalu tua. Harus ada pembaharuan teknologi yang memadai untuk meningkatkan efesiensi produksi.

"Secara teknologi itu kan ketinggalan sekali. Persaingan jadi tidak imbang, antara pabrikan Kaltim, dengan Jawa misalnya. Yang sudah menggunakan mesin baru yang lebih canggih," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Nasional Indonesia (Apindo) Samarinda ini.

Kedua, masalah permodalan. Lesunya industri kayu di Kaltim membuat para pengusaha kesulitan mendapat akses permodalan dari bank. Karena sektor ini dianggap sudah tidak populer dan prospektif lagi. Pihak perbankan menjadi ragu untuk memberikan modal pada pelaku bisnis hasil hutan kayu. Hal ini, tentu menyulitkan bagi para pengusaha.

Begitu pula dengan pemasaran. Jika dulu Indonesia pernah menjadi produsen kayu hutan tropis yang menguasai pasar dunia. Kini, Indonesia harus kalah saing dengan hadirnya kompetitor dari negara lain. Terutama China, Brazil, Malaysia dan Vietnam. "Kalau di Kaltim ini. Jangankan keluar. Di dalam negeri saja kita sudah kalah saing dengan Jawa," ujar Novel.

Masalahnya, kata dia, tingginya kesenjangan biaya logistik antara di Pulau Jawa dengan Kaltim. Terutama untuk menunjang ekspor. Ia menyebut, biaya ekspor dari Surabaya menuju Shanghai misalnya. Jauh lebih murah. Dibanding biaya ekspor dari Kalimantan. Baik itu dari pelabuhan Samarinda, Balikpapan, mau pun Tarakan. Menuju negara tujuan ekspor.

Adanya ekspor langsung melalui direct call di Kaltim Kariangau Terminal (KKT) disebut belum cukup membantu. Karena tidak seimbangnya arus ekspor dan impor di pelabuhan KKT.

Untuk melakukan eskpor, pihak liner services bisa menyediakan kontainer jika ada kontainer impor yang masuk. Jika tidak, harus mendatangkan kontainer kosong dari Jakarta atau Surabaya. Dan ongkos kirim, dibebankan kepada eksportir sehingga ongkos menjadi mahal.

"Kalau di pelabuhan Surabaya atau Jakarta kan banyak kontainer impor yang masuk. Sehingga kita bisa muat barang ekspor pakai kontainer itu dengan harga yang murah," terang Novel.

Selain masalah teknologi dan biaya logistik yang mahal. Masalah infrastruktur dan transportasi juga menjadi keluhan para pengusaha. Sarana transportasi di Kaltim disebutnya belum mendukung. Yang menyebabkan beberapa perusahaan kayu tidak memiliki akses jalan darat. Sehingga terpaksa melewati jalur sungai. Belum lagi, masalah ketidakpastian hukum dan regulasi perizinan yang tumpang tindih.

Tags :
Kategori :

Terkait