Bankaltimtara

Fakta Praktik Berladang Adat: Stigma Pembakar Hutan Dinilai Tak Berdasar, Ada Tekanan Sistem Ekonomi-Politik

Fakta Praktik Berladang Adat: Stigma Pembakar Hutan Dinilai Tak Berdasar, Ada Tekanan Sistem Ekonomi-Politik

Perempuan Adat Balik di Kelurahan Pemaluan, Sepaku, saat sedang memanen padi di ladang (Ngatom Pare).-istimewa-

BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM - Stigma negatif terhadap praktik berladang tradisional masyarakat adat Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai telah berlangsung selama puluhan tahun.

Aktivis Masyarakat Adat, Andreas Ongko Wijaya Hului menegaskan, apabila ada yang menyebut petani ladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak memiliki dasar kuat dan mengabaikan kearifan lokal.

"Kalau orang Dayak tidak berladang, maka diragukan Kedayakannya," kata Andreas , Minggu 6 Juli 2025.

"Ladang itu jati diri. Ladang bukan cuma tempat menanam padi, tapi ruang hidup, pusat kebudayaan, dan sumber pangan," tambah pria kelahiran suku Dayak Bahau Umaq Suling itu.

BACA JUGA: Baru 30 Persen Perusahaan Sawit Tergabung GAPKI, Ini Dampaknya bagi Mitigasi Karhutla

Ia menjelaskan, dalam komunitas Bahau, praktik membuka ladang dikenal sebagai Naq Lumaq atau membuat ladang.

Biasanya, masyarakat membuka lahan 1 hingga 2 hektare dengan metode membakar sisa semak. Abu dan arang hasil pembakaran digunakan sebagai pupuk alami untuk menambah unsur hara dan menurunkan keasaman tanah.

"Tanah di Kalimantan tidak subur seperti tanah Jawa yang dapat pupuk vulkanik dari gunung api. Pembakaran ini adalah cara adaptasi manusia terhadap ekosistemnya. Setelah kesuburan menurun, ladang dibiarkan istirahat selama 10 sampai 15 tahun agar vegetasinya pulih," urai Andreas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur 2023, total luas padi ladang yang dikelola petani tradisional di provinsi ini tercatat sekitar 30.137 hektare.

BACA JUGA: Menjelang Musim Kemarau, Pemerintah dan GAPKI Siapkan Langkah Pencegahan Karhutla di Kaltim

Rata-rata setiap keluarga masyarakat adat mengelola lahan sekitar 1 hingga 2 hektare. Luas perkebunan kelapa sawit skala besar di Kalimantan Timur tercatat lebih dari 1,4 juta hektare.

Sistem ladang gilir balik tersebut sudah diwariskan turun-temurun dan teruji secara ekologis. Namun, baginya, stigma petani ladang sebagai perusak lingkungan kerap muncul dalam kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, Andreas menduga bahwa tuduhan itu muncul bukan karena pemerintah tidak memahami kearifan lokal, melainkan akibat tekanan sistem ekonomi-politik yang mendukung ekspansi perkebunan besar.

"Sejak Orde Baru, peladang sudah dikambinghitamkan. Pada 1990-an, pemerintah secara terang-terangan menyebut peladang biang kebakaran hutan, padahal kebijakan itu juga berkaitan dengan promosi perkebunan skala besar," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: